Blog Rujak : Kumpulan Makalah Online Lengkap

Kumpulan Makalah, Artikel dan Tips Lengkap

Contoh kajian hermeneutika Interpretasi

ADSENSE HERE!
ANALISIS SIMBOL, METAFORA, KONSEP DALAM SAJAK “IBU YANG” KARYA ABDUL WACHID BS                    (KAJIAN HERMENEUTIKA INTERPRETASI)
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hermeneutika, Metafora, Simbol, dan Konsep
Dilihat dari cara kerjanya, hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahamandalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43). Apa yang dimaksud Ricoeur tentang teks, pada dasarnya, adalah setiap wacana yang dibakukan lewat tulisan, dan apa yang dibakukan lewat tulisan adalah wacana yang diucapkan. Akan tetapi, karena teks ditulis, tidak diucapkan, maka pembakuan melalui tulisan menempati diri dalam posisi ucapan.
Oleh karena itu, menurut Ricoeur (1976: 19-20), tugas hermenutika tidak lagi ditafsirkan sebagai mencari kesamaan antara pemahaman penafsir dengan maksud pengarang. Tugas Hermeneutika adalah:
1)      Mencari didalam teks itu sendiri, dinamika yang diarahkan oleh strukturasi karya atau dinamika internal teks (sense).
2)      Mencari di dalam teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya sehingga melahirkan suatu dunia yang merupakan halnya atau pesan teks itu (reference).
Pemahaman pada metafora dapat berfungsi sebagai panduan untuk memahami teks, semisal karya sastra. Sudut pandang ini berhubungan dengan penjelasan, yaitu metafora berhubungan dengan aspek makna yang disebut sense. Sementara itu, dari sudut pandang interpretasi, metafora mengembangkan aspek makna reference, yaitu orientasi kepada sebuah dunia dan orientasi releksi kepada diri sendiri (Ricoeur, 1981: 171). Dengan demikian, menganalisis metaforapada karya sastra (puisi) berarti berangkat dari analisis metafora kepada tekspada level “arti” (sense) dan penjelasan atas “arti”, kemudian dari teks kepada metafora pada level rujukankarya ke dunia (reverence) dan diri ke sendiri, yakni level interpretasi.
Sementara itu, analisis symbol, pada dasarnya, adalah elaborasi lebih mendalam terhadap analisis metafora yang telah dilakukan. Oleh karena itu, menurut Ricoeur (1976: 43)  metafora dapat bertugas sebagai analisis persiapan yang mengarah pada analisis teori simbol. Ricoeur mendefinisikan symbol sebagai suatu struktur penandaan yang di dalamnya sebuah makna langsung, pokok, atau liteterer menunujuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder, dan figurative yang dapat dipahami hanya melalui makna pertama. Interpretasi atas symbol berarti penguraian makna yang tersembunyi dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersembunyi dari makna yang tersirat di dalam makna literer (Bleich, 2003; 376).
Dengan demikian, konsep symbol, menurut Ricoeur (1976: 53), menyandarkan pada dua semesta wacana, yaitu satu tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistk. Oleh karena itu, analisis terhadap symbol dalam karya sastra (puisi) berpijak pada:
1.      Mengidentifikasi benih-benih semantic yang khas dari setiap symbol, betapapun berbedanya masing-masing.
2.      Menganalisis berfungsinya metaforis bahasa yang akan membebaskan symbol untuk memisahkan diri dari strata nonlinguistic dari symbol.
Model yang digunakan pada analisis simbol ini adalah menginventarisasikan simbol-simbol cahaya dalam sajak yang dianalisis, yaitu simbol-simbol yang mempresentasikan cahaya menjadi titik fokusnya. Simbol cahaya yang dianalisis adalah simbol yang secara nyata banyak digunakan dan menjadi kerangka filosofis dalam sajak. Selanjutnya, agar sajak tetap membangun wacananya secara utuh, maka analisis simbol diletakkan pada koneks puisi yng membangunnya. Dengan demikian, makna simbol sebagai representasi makna semantik dan nonsemantiknya dapat diungkap dalam kesatuan makna puisi sebagai wacana.[1]



SAJAK “IBU YANG”
Ibu Yang
(1)   Ibu yang menahan diri
                  Ketika aku menjerit terlepas dari rahimnya
                  Dan tersenyum syukur
                  Ketika aku mengenal bahasa lewat tangis

            (2) Ibu yang menahan diri
                  Di saat aku mengenal dunia
                  Melintasi jalan siang dan malam
                  Menikung, terserimpung oleh bingung

(3)   Siapa aku? Darimana?
                  Apa yang menjadikan diri lebih berarti
                  Hingga kemana harihariku
                  Akan pergi abadi?

(4)   Ibu yang menahan diri
                  Meladeni makan anakanakdan suaminya
                  Ibu memilih kepala dan ekor ikan untuk lauknya
                  Sedangkan daging lauk ikan untuk anakanaknya

(5)   Ibu yang menahan diri
      Dari perhiasan di badan
     Demi perhiasan perilaku
     Anakanaknya di kota mencari ilmu

(6)   Ibu yang menahan diri
      Secemas cinta sedemam doa
      Senyawa nyala “bismillah”
      Dalam bilangan yang tidak terbilang

(7)   Ibu yang
      Menahan diri dari lapar dan dahaga
      Dari bulan sabit sampai purnama raya

(8)   Ibu
      Pertapa yang meraih rembulan
      Hinggap di keningnya

bluluk-yogyakarta, 24 agustus 2012

A. Metafora dalam Sajak “IBU YANG”
            Judul “Ibu Yang” dalam sajak ini menyiratkan ungkapan dari “aku-lirik” kepada sosok ibu. Menurut arti kata ibu berarti:
1.      Wanita yang telah melahirkan seseorang.
2.      Sebutan untuk wanita yang sudah bersuami.
3.      Panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum.
Ibu merupakan sosok terpenting dalam hidup kita. Ia yang melahirkan dan membesarkan, serta menrawat kita dengan tulus. Sedangkan kata “yang’’ dari judul di atas mempunyai makna“paling” entah itu; yang terbaik, yang melakukan, atau yang yang  lainnya. Apabila digabungkan dari kedua kata tersebut “ibu dan yang” menjadi sebuah makna; yaitu ungkapan dari si “aku” bahwa ibu yang “melakukan” bisa di artikan ibu yang melahirkannya, ibu yang merawatnya.

(1)    ibu yang menahan diri
ketika aku menjerit terlepas dari rahimnya
dan tersenyum syukur
ketika aku mengenal bahasa lewat tangis

Baris pertama pada bait pertama sajak “Ibu yang” memperlihatkan satu konstruksi proposisi yang terbangun atas identifikasi-singular “sesuatu” belum dijelaskan secara eksplisit. Baris di atas memperlihatkan ide wacana, yaitu sesungguhnya apa yang diucapkan “aku-lirik”. Apa yang dimaksudkan dengan “menahan diri” sebagai subjek-pokok oleh “aku-lirik” dijelaskan pada baris selanjutnya. “Ketika aku menjerit terlepas dari diri dari rahimnya” merupakan metafora pernyataan  karena sudah memenuhi syarat proporsi. Arti dari kata “menjerit” merupakan ekspresi seseorang tentang perasaannya, dalam puisi ini, kata menjerit” di artikan teriakan seorang bayi atau atau tangisan seorang bayi yang baru lahir ke dunia.
Baris ketiga dari bait pertama, merupakan ekspresi dari seorang ibu,yang telah melahirkan anaknya. Kata “syukur” adalah sebuah ungkapan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kemudahan dalam proses persalinan atau dalam proses kehamilan selama kurang lebih 9 bulan sampai proses persalinan. Dan baris keempat, merupakan penjelas dari pernyataan sebelumnya yaitu si “aku” mengenal bahasa melalui tangisannya.

(2)   ibu yang menahan diri
disaat aku mengenal dunia  
melintasi jalan siang jalan malam
menikung, terserimpung oleh bingung
            Di bait kedua merupakan lanjutan dari ungkapan “si aku-lirik” yang terdapat di bait pertama, khususnya di baris kedua bait kedua. Baris kedua merupakan metafora  mengartikan bahwa seorang yang baru tumbuh dewasa yang belum mengenal dunia secara luas. Arti dari “mengenal” di esensikan  sebagai sesuatu pendekatan pertama, dimana si aku baru memasuki tahap mengenal dari dunianya.
Di bait kedua dan keempat, merupakan penjelas dari arti “mengenal”. Dimasa penemuan jati diri  seseorang belum mengenal dunianya, belum mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Entah itu gelap atau terang, hitam putih. Masa depan merupakan sebuah misteri di mana sesuatu masih absrud dan belum jelas bentuknya. Apapun yang terjadi pada manusia merupakan takdir Allah, sedangkan kita hanya bisa berikhtiar.
Dalam puisi ini, subjek “ibu” yang menahan tau mencegah si aku (anaknya) terjerumus kelembah nestapa dan  memberi refleksi tentang ketidak pastian masa depan anaknya (kebingungan) dalam mengenal dunia. Pernyataan di atas bisa dilihat dari bait ketiga dan keempat yaitu, “Melintasi jalan siang jalan malam” “Menikung, terserimpung oleh bingung”. Kata “melintasi” adalah menjalani kehidupan ibarat mobil yang hendak berjalan melintasi jalan-jalan. Makna dari “jalan siang jalan malam. “malam” identik dengan gelap, sunyi, dan “siang” identik dengan terang, cerah, penuh cahaya sedangkan “menikung” berarti membelok, mangkir, atau bisa di sebut keluar dari jalur (trek) kemudian “terserimpung oleh bingung” kata terserimpung merupakan kosa kata dari bahasa jawa yang mempunyai arti  terjerat atau juga terjebak.

(3)   siapa aku?
apa yang menjadikan diri lebih berarti
hingga kemana harihariku
akan pergi abadi?

Di bait yang ketiga ini, merupakan proporsi dari ungkapan si “aku’’ yang diungkapkan melalui sebuah pertanyaan dimana si “aku” mengungkapkan segala kegelisahannya, dapat diidentifikasi dengan kata “kemana” yang mempunyai makna tujuan , tempat yang dituju dari si aku.

(4)   ibu yang menahan diri
meladeni makan anakanak dan suaminya
ibu memilih kepala dan ekor ikan untuk lauknya
sedangkan daging lauk ikan untuk anakanaknya

Di bait yang keempat ini merupakan proporsi dari kelanjutan bait-bait sebelumnya, yaitu dari baris kedua, bahwa peran seorang ibu sangatlah penting, ibu melayani seluruh anggota keluarganya. Disamping berperan sebagai seorang istri yang melayani suaminya, ibu juga berperan sebagai seorang ibu yang merawat anak-anaknya. Namun, yang menjadi ketegangan adalah di baris ketiga  dan keempat, karena sudah merupakan metafora pernyataan yang sudah mempunyai syarat sebagi proporsi, dimana kalimat memilih “ekor” dan ‘kepala” diartikan sebagai sesuatu yang sisa. Kasih sayang seorang ibu sangat besar, sampai-sampai dia mau memakan sisa dari ikan dan kemudian memberikan dagingnya kepada anak-anaknya.

(5)   ibu yang menahan diri
dari perhiasan di badan
demi perhiasan perilaku
anakanaknya di kota mencari ilmu

Di bait yang kelima ini, khususnya di baris kedua dan ketiga merupakan metafora pernyataan. Terdapat ketegangan antara kata “perhiasan badan” dan “perhiasan perilaku”. Kata  “perhiasan” bisa di esensikan sebagai aksesoris,  pemanis, dalam bait diatas  makna dari “ perhiasan di badan” mempunyai makna gemerlapnya dunia, bisa adiartikan sebagai ketamaan atau kesombongan yang hanya membahagiakan luarnya, sedangkan “perhiasan perilaku” bisa diartikan sebagai akhlakul karimah atau perilaku yang  baik.
(6)   ibu yang menahan diri
secemas cinta sedeman doa
senyawa nyala “bismillah”
dalam bilangan yang tak terbilang

            Di bait yang keenam ini, mempunyai metafora bahwa kasih sayang seorang ibu sepanjang masa, penuh dengan cinta dan harapan demi kebaikan anaknya,. Serta kata “nyala” mempunyai maknya terang, pencerah. Dan kata “bismilah” berarti dengan izin Allah. Dapat disimpulkan bahwa kasih sayang seorang ibu, begitu tulus penuh kasih sayang, tak terhitung oleh apapun dan dengan diridhoi oleh Allah SWT.

(7)   ibu yang
Menahan diri dari lapar dan dahaga
dari bulan sabit sampai purnama raya

Di bait yang ketujuh merupakan lanjutan dari bait sebelumnya dimana baris kedua sebagai metafora pernyataan dan yang ketiga merupakan penjelasnya. Dapat diartikan bahwa seorang ibu rela “menahan lapar dan dahaga’’ artinya menahan segala hasratnya atau keinginannya demi anaknya mulai dari “bulan sabit sampai purnama” diartikan sepanjang masa (selamanya).

(8)   ibu
pertapa yang meraih rembulan
hinggap di keningnya

            Di bait yang terakhir dari sajak ini, mempunyai mempunyai metafora bahwa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya begitu besar seperti gunung dan luas laksana samudra, di bait ini di  dimensikan pertapa yang meraih rembulan hingga di keningnya.

B. Simbol Cahaya dalam Sajak “Ibu Yang”
            Secara keseluruhan dari sajak “ibu yang” ini berisi tentang ungkapan dari si “aku-lirik” bahwa kasih sayang seorang ibu begitu luar biasa.
Simbol cahaya dari sajak ini terdapat pada bait keenam:

ibu yang menahan diri
secemas cinta sedemam doa
senyawa nyala “bismillah”
dalam bilangan yang tak terbilang

            Kodrati manusia adalah dilahirkan di dunia ini melalui perantara seorang ibu. Dalam arti  sajak “ Ibu Yang” berarti seorang ibulah yang mengandung kita mulai dari segumpal darah sampai menjadi bayi, setelah melahirkan kemudian merawatnya dari kecil sampai dewasa dengan penuh kasih sayang. “Kasih ibu sepanjang masa.” Itulah yang menggambarkan kasih sayang seoang ibu begitu besar, tak ada batasan ruang dan waktu.

C. Konsep Mistisisme Cahaya dalam Sajak “Ibu Yang”
Dalam sajak ini, konsep “cahaya” mempresentasikan sosok “ibu”. Ibu laksana cahaya tuhan yang selalu  menerangi jiwa anaknya. Ibu yang selalu menjaga anaknya , mengarahkan anaknya serta melindungi anaknya dari bahaya dan godaan dunia yang dapat merusak anaknya. Kasih sayang seorang ibu begitu tulus, ibarat matahari yang selalu menyinari bumi tanpa pamrih, selalu menyayangi dan mencintai kita selamanya.
Ibu adalah pelita dalam keluarga. Sosoknya selalu hadir dan menemani dikala sedih maupun susah. Perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang. Jiwa dan raganya ia pertaruhkan demi kabaikan anak-anaknya. Arti seorang ibu mengandung milyaran makna. Ibu adalah lambang surga yang terlihat di dunia, bahkan dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda jika surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Makna seorang ibu memang sangat luas, kehadirannya penuh arti dan sejuta makna.
PENUTUP

A. Kesimpulan
             Dengan adanya landasan teori hermeneutika kita akan mudah memaknai suatu sajak. Kaitannya dengan  sajak karya Abdul Wachid BS yang berjudul “Ibu Yang” memberikan pengetahuan tentang sosok ibu. Bagaimana sosok seorang ibu dalam berbagai pengertian, yang ia munculkan dengan meggunakan bahasa yang sederhana tapi penuh makna. Dalam sajak “Ibu Yang” ini, Abdul Wachid BS mencoba memaparkan makna ibu lewat berbagai sudut pandang.
Kisah hidupnya bersama sosok ibu ia ceritakan lewat sajak ini. Berbagai gambaran tentang ibu dan perjuangannya ditambah lagi dengan perjuangan seorang ibu dalam kehidupan keluarga. Mulai dari hubungannya dengan suami dan dalam memberikan segala yang terbaik bagi anak-anaknya. Ibu rela memakan hanya tulang ikan dan kepala sedangkan daging ia peruntukan bagi anak-anaknya. Sungguh penggambaran yang sangat menyentuh hati setiap pembaca. Hal ini dikarenakan penggunaan kata-kata dengan tidak mengabaikan landasan teori metafora, simbol dan konsep sehingga bait-baitnya terlihat memiliki banyak makna.
B. Saran
            Sajak atau  puisi adalah rimba metafora, sungai simbolisme, perbukitan paradoks, dan kawasan tafsir. Dalam sajak “Ibu Yang” karya Abdul Wachid ini banyak sekali pesan-pesan moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Untuk itu kita harus jeli memaknai pesan tersebut dalam setip bait. Selanjutnya kata “Ibu” memang mempunyai arti bagi setiap orang. Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam perjalanan hidup kita. Kita harus selalu membuat perasaan seorang ibu bahagia. Jangan sampai perkataan dan perbuatan kita membuat hati seorang ibu terluka. Semua kebaikan dan perhatian seorang ibu tak akan pernah bisa kita balas dengan apapun. Surga di bawah telapak kaki ibu. Hormati dan sayangi ibu kita dalam setiap waktu agar kita mendapat ridho Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Heru. 2011. Mistisisme Cahaya. Purwokerto: STAIN Press.
Wachid, Abdul. 2013. Kepayang. Yogyakarta: Cinta Buku.
Wachid, Abdul dan Heru Kurniawan. 2013. Kemahiran Berbahasa Indonesia. Purwokerto: Kaldera Press.








[1] Heru Kurniawan, Mistisisme Cahaya, (Purwokerto: STAIN Press, 2011) hlm. 111-115.
ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © 2025 Blog Rujak : Kumpulan Makalah Online Lengkap. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design