ADSENSE HERE!
Wadhih Ad Dalalah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Lafadz Dari Segi Kejelasan Artinya
Secara garis besar, lafadz dari segi kejelasan artinya terbagi
menjadi dua macam:
a.
Lafadz
yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud,
sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan
lagi penjelasan dari luar.
b.
Lafadz
yang belum terang artinyadan belum jelas penunjuknnya terhadapa makna yang
dimaksud kecuali adanya penjelasan dari luar lafadz tersebut.
1.
Lafadz Yang Terang Artinya
Lafadz yang terang artinya terbagi menjadi empat tingkatan yang
kekuatan dari segi kejelasan berbeda. Hal ini dapat dikategorikan kedalam
jelas, lebih jelas, sangat jelas dan paling jelas.[1] Para
ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafadz dari
segi kejelasan artinya. Dalam hal ini, dapat di bagi dalam dua kelompok.
Golongan pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafadz dari segi
kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu zhahir, nash, mufassar
dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya mereka membagi menjadi
empat macam pula, yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
Golongan kedua yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin yang
dipelopori oleh Asy-Syafi’i yang membagi lafadz dari segi kejelasannya menjadi
dua macam yaitu zhahir dan nash. Kedua bentuk lafadz ini disebut kalam mubayyan.
Sedangkan dari segi ketidakjelasannya dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih.[2]
Bertolak dari adanya perbedaan perbedaan pendapat dari para ulama
tersebut, efek perbedaan ini akan kelihatan ketika terjadi pertentangan.
Berikut ini akan kita uraikan penjelasan tentang keempat tingkatan lafadz
tersebut.
a.
Zhahir (الظاهر )
Al-Bazdawi memberikan
definisi tentang zhahir sebagai berikut:
اسم لكلّ كلام ظهر المرادبه للسّامع
بصىيغته
Artinya : “suatu nama bagi seluruh
perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu
sendiri.”
Definisi yang lebih jelas dikemukaan oleh
Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه بنفس السّامع من غير
تأمّل
Artinya : “sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari
pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu.” [3]
Zhahir dalam
istilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap maksudnya
dengan shighotnya itu sendiri, tanpa ketergantungan pemahaman maksudnya itu
kepada sesuatu yang bersifat khariji (eksternal), akan tetapi maksudnya
itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan kalimatnya, dan ia
mengandung kemungkinan takwil. Sepanjang maksudnya dapat dipahami dari kalimat
itu tanpa membutuhkan suatu qorinah (tanda), namun maksud tersebut bukanlah
yang dikehendaki dengan sebenarnya dari susunan kalimatnya, maka kalimat itu
disebut dengan zhahir.
Misalnya adalah firman Allah SWT :
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Ayat tersebut adalah zhahir dalam
menghalalkan segala macam jual beli dan menghalalkan segala macam riba, karena
ini adalah makna yang segera dapat difahami dari kedua lafadz احلّ وحرّم)
) tanpa suatu qorinah. Namu pengertian tersebut tidaklah yang sebenarnya
dikehendaki secara asli dari susunan ayat, karena ayat tersebut sebagaimana
telah kami kemukakan disusun dengan maksud sebenarnya untuk mengadakan
persamaan antara jual beli dengan riba., untuk menolak terhadap orang-orang
yang mengatakan :مثل الرّبا إنّمااللبيع
.
Contoh
lain umpamanya firman Allah dalam surat al-Hasyr : 7
ومآأتاكم الرّسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا
Artinya
: “apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apayang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” [4]
Ayat
diatas begitu jelas artinya, yaitu keharusan mentaati apa yang disuruh Rasul
baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang
mudah dipahami secara cepat. Namu maksud sebenarnya dari ayat tersebut adalah
keharusan menerima apa-apa yang diberikan rasul sehubungan dengan harta rampasn
perang dan tidak menolak pemberian Rasul, serta menjauhi apa yang tidak
disenangi oleh Rasul.
Hukum
yang zhahir ialah wajib mengamalkan pengertian yang zhahir itu sepanjang tidak
ada dalil yng menghendaki untuk
mengamalkan terhadap yang bukan zhahirnya. Karena yang asal adalah tidak
memalingkan lafadz dari zhahirnya, kecuali apabila ada dalil yang menghendaki
hal itu dan lafadz itu kemungkinan mengandung makna takwil. Artinya
pemalingannya dari pengertian zhahirnya dan menghendaki makna lainnya dari
lafadz itu. Jika lafadz zhahir bersifat umum ia mengandung kemungkinan untuk
mentakhsiskannya, dan jika ia bersifat mutlak maka ia mengandung kemungkinan
untuk dibatasi. Dan jika ia merupakan lafadz yang hakekat maka ia mengandung
kemungkinan dikehendaki makna majazi serta lainnya dari berbaga aspek takwil.
b. Nash ( النص)
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah
sesuatu yang menunjukkan terhadap makna yang dimaksudkan secara asli dari
susunan kalimatnya melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung
kemungkinan untuk ditakwilkan.[5]
Sepanjang makna tersebut adalah yang segera difahami dari lafadz dan
pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji dan makna
tersebut adalah yang dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya maka
lafadz tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna itu.
Menurut Ad-Dabusi:
الزّائدعلى الظّاهر بيانا إذا قوبل به
Artinya
: “sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia
dibandingkan dengan lafadz zhahir.”
Menurut
Al-Bazdawi:
مازداد وضوحا على الظّاهر بمعنى المتكلّم لا
فىى نفس الصّيغة
Artinya
: “lafadz yang lebih jelaz maknanya dari pada makna lafadz zhahir ynag
diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” [6]
Contoh
lafadz nash dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 275
وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبا .
Secara
nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatkan perbedaan antara jual beli dengan
riba sebagai sanggahan terhadap orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat
dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini
sudah sangat jelas namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan
dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya riba.
Pemahaman menurut cara yang terakhir ini disebut zhahir.
Contoh lain dalam surat An-Nisa: 3
فانكحوا ماطاب لكم من
النّسآء مثنى وثلاث ورباع .
Artinya:
“maka kwinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi; dua, tiga dan
empat.” [7]
Ayat
tersebut adalah nash mengenai pembatasan jumlah isteri yang terbanyak yaitu
empat orang isteri, karena itu adalah makna yang segera dipahami dari lafadznya
dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya.
Nash
itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan
zhahir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah
yang dituju menurut ungkapan asal. Sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung
dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara
langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang
tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash
dengan zhahir dalam penunjukannya , maka didahulukan yang nash, sehubungan
dengan ini bila terdapat pertentangan antara arti umum dan arti khusus, maka
yang harus didahulukan pengalamannya adalah yang berdasarkan arti khusus karena
arti kh usus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya sedangkan arti umum
meskipun memang dimaksud pula tetapi didalam kerangka pengalaman seluruh satuan
arti (afrad)-nya. Contohnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa: 24 :
)dihalalkan untukmu selain yang disebutkan bagimu) وأحلّ لكم ماوراءذلكم
Ayat diatas disebutkan setelah menyebutkan
perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh laki-laki. Hal ini berarti
tidak haramnya semua perempuan yang tidak tersebut dalam zhahir ayat tersebut,
termasuk kaein yang kelima. Namu zhahir ayat tersebut bertentangan dengan nash
ayat 3 surat An-Nisa yang secara tegas membatasi perkawinan itu sampai empat
orang. Dengan demikian perkawinan kelima sebagaimana yang dapat dilakukan
berdasarkan zhahir ayat sebelumnya menjadi batal menurut nash ayat ini.
c. Mufassar ( المفسّر )
Al-Uddah merumuskan mufassar sebagai
berikut:
ما يعرف معناه من لفظه ولايفتقر إلى قرينة
تفسيره
Artinya: “sesuatu lafadz yang dapat
diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memmerlukan qarinah yang
menafsirkannya.” [8]
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh,
mufassar yaitu sesuatu yang menunjukan dengan sendirinya atas maknanya yang
terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi tersisa kemungkinan takwil.
Diantaranya ialah bahwasanya shighatnya menunjukan dengan sendirinya dengan
suatu dalalah yang jelas terhadap makna yang terperincidan didalamnya terdapat
sesuatu yang meniadakan pemungkinan maksud selain maknanya, sebagaimana firman
Allah SWT yang berkenaan dengan orang-orang yang menuduh zina terhadap wanita-wanita
terhormat.
فاجلدوهم
ثمانين جلدة
Artinya: “ maka deralah mereka delapan
puluh kali deraan.” (QS. An-Nur:4)
Jumlah tertentu tidak mengandung kemungkinan
lebih maupun kurang.
وقاتلواالمشركين كافّة
Artinya:
“dan perangilah kaum musyrikin itu semua.” (QS. At-Taubah: 36)
Kata
kaffah (semuanya) meniadakan kemungkinan pentakhshiskan.[9]
Mufassar
ada dua macam, yaitu:
1. Menurut asalnya, lafadz itu sudah jelas dan
terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contohnya surat An-Nur:4
yang diatas bahwa bilangan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh
kali dera. Tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari
bilangan itu.
2. Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan
memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain
yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. (mubayyan)
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية
مسلّمة إلى أهله
Artinya: “orang-orang yang membunuh
orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekaan hamba sahaya dan
menyerahkan diyat kepada keluarganya.” (QS. An-Nisa: 92)[10]
Ayat
diatas menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi
tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan
itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalan sunnah yang
merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat diatas menjadi
terinci dan jelas artinya.
Dilalah
mufassar wajib diamalkan secara qoth’i sepanjang tidak ada dalil
yang me-nasakh-nya. Lafadz mufassar tidk mungkin dipalingkan artinya
dari zhahirnya, karena tidak mungkin ditakwil dan di takhsis melainkan
hanya bisa di nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan
demikian mufassar lebih kuat dari pada zhahir dan nash. Oleh sebab itu, apabila
trjadi pertentangan antara ketinganya maka mufassar harus didahulukan.
d. Muhkam ( المحكم )
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama
yang berarti aqtana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah
adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarkhkasi:
فالمحكم
ممتنع من إحتمال التّأويل ومن أن يردّ عليه النّسخ
Artinya: “muhkam itu menolak adanya
penakwilan dan adanya nash.” [11]
Muhkam
dalam istilah ulama ushil fiqh ialah sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya
yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya, dengan suatu
dalalah yang jelas yang tidak lagi tersisa kemungkinan takwil. Nash muhkam
tidak mengandung kemungkinan takwil, artinya memaksudkan makna lain yang tidak
zhahir daripadanya, karena nash tersebut telah diperinci dan ditafsirkan dengan
suatu penafsiran yang tidak memberikan peluang lagi bagi pentakwilan. Ia juga
tidak menerima nasakh, baik pada masa kerasulan, pada masa senggang dari
turunnya wahyu maupun sesudahnya. Karena hukum yang diambil dari nash tersebut
mungkin merupakan hukum yang asasi dari kaidah-kaidah agama yang tidak menerima
penukaran, seperti menyembah Allah semata, mengimani kitab-Nya dan rasul-Nya,
ataupun termasuk induk dari hal-hal terpuji yang tidak akan berubah dengan
perubahan situasi dan kondisi, sebagaimana berbakti kepada dua orang tua,
bersikap adil, atau hukum yang bersifat far’i yang juz’i, akan tetapi pembuat
hukum menunjukan terhadap pengukuhan syariatnya, sebagaimana firman Allah SWT
mengenai oarang-orang yang menuduh zina wanita-wanita terhormat:
ولاتقبلوا لهم شهادة ابدا
Artinya:
“dan jangnlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya.” (QS.
An-Nur: 4).
dan sabda Rasulullah saw:
الجهاد ماض الى يوم القيامة
Artinya:
“berjihad adalah terus berlangsung sampai hari kiamat.”
Hukum
nash yang muhkam adalah wajib diamalkan secara pasti. Ia tidak mengandung
kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya dan penasakhkannya. Dalalah
muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu dalalah muhkam
lebih kuat daripada selutuh macam dalalah yang disebut diatas. Oleh
sebab inilah, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil diatas, maka yang
harus didahulukan adalah dalalah muhkam.
BAB III
PENUTUP
Ushul
Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut
harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan
menilai kekuatan dalil-dalil tersebut
Zhâhir adalah lafaz
yang menunjukkan maknanya dengan menggunakan sighatnya sendiri tanpa
memerlukan qarînah dari luar, tetapi memiliki maksud lain dari maksud ungkapan
tersebut yang merupakan pokok pembicaraannya serta ada kemungkinan untuk
ditakwilkan. Nash adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan
makna yang dimaksud secara asli dan langsung sesuai dengan apa yang
diungkapkannya, dan ada kemungkinan ditakwilkan. Mufassar adalah lafaz
yang penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, dan penunjukannya itu hanya dari
lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin
ditakwilkan. Muhkam adalah lafaz yang menujukkan kepada makna yang jelas
dan tidak memerlukan qarînah dari luar sehingga tertutup kemungkinan untuk
ditakwilkan, diganti maupun dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh II, cet VI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Mu’in,
Dkk, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad, Jakarta: Departemen Agama,
1986.
Wahab,
Khallaf A, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Dahwan,
Dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta: Departema Agama, 1986.
Syafe’i,
Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, cet III, Bandung: Pustaka setia, 2007.
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Permada Media Group, 2011),
hlm. 3
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.
151
[3]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm.
152
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina utama, 1994) hlm. 246
[5]
Ibid, hlm. 247
[6]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.
154
[7]
Ibid, hlm. 247
[8]
Amir Syafifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011),
hlm. 9
[9] Ibid, hlm. 253
[10]
Ibid, hlm. 10
[11]
Ibid, hlm. 157
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment