ADSENSE HERE!
Al Farabi
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut al Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah
sama, yaitu mengetahui semua wujud. Mengenai pengertian filsafat, ia mengatakan
bahwa filsafat adalah mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al Ilm
bil Maujudat bimahiya Maujudah).
Tentang lapangannya, beliau membagi menjadi dua bagian,
yaitu al falsafah an nadhariyah (filsafat teori), yaitu mengetahui
sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa(tidak perlu) mewujudkannya dalam
perbuatan. Bagian ini meliputi Matematika, Fisika, dan Metafisika. Bagian kedua
ialah falsafah al ‘amaliyah yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya
diwujudkan dalam perbuatan yang menimbulkan kekuatan untuk mengerjakaan
bagian-bagian yang baik.
Tujuan terpenting mempelajari filsafat, menurut al
Farabi ialah mengetahui Tuhan, bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia
menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini
dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilanNya.1
1
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta : Bulan Bintang, 1991)hlm.7-8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Al Farabi
Nama
lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Auzalagh. Di kalangan
orang-orang Latin abad pertengahan, al Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr
(Abunaser). Ia lahir di Wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar), Turkistan pada 257 H (840 M). Ayahnya seorang seorang jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.1
Pada
waktu mudanya, Al Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad
kepada Abu Bakar al Saraj dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus
ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani
dan kepada Yuhana ibn Hailam.2 Kemudian ia pindah ke Harran, pusat
kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Tetapi
tidak berapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap
di kota ini selama 20 tahun.3 Di Baghdad ini juga ia menulis dan
membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara
muridnya yang terkenal adalaah Yahya ibn ‘Adi, filsuf Kristen.4
Pada
tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al Daulah
al Hamdani, sultan dinasti Hamdan di Aleppo. Selama 10 tahun, ia hidup
berpindah-pindah antara dua kota yaitu Aleppo dan Damaskus. Tetapi hubungan
penguasa ke dua kota ini semakin memburuk, sehingga al Daulah menyerbu Damaskus
dan dapat dikuasai. Dalam penyerbuan, Al Farabi diikutsertakan. Pada bulan
Desember 950 M, al Farabi meninggal dunia pada usia 80 tahun. 5
1 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam
(Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 32
2 Ibid
3 Al Bahi, hlm. 374
4 Nasution, op. cit. hlm. 33
5 Ibid
Al Farabi yang dikenal sebagai
filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan
memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan
sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu sina dan Ibnu Rusyd
banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
B. Karya
Al Farabi
Karya
al Farabi yang terkenal adalah Al Jam’u baina Ra’yay al Hakimain Aflathun wa
Aristhu, yaitu karyanya yang mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato
dan Aristoteles.
Sebagian
besar karya al Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat
Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang Logika, Fisika, Etika, dan
Metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pemikirannya, namun ia
lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Sina telah membaca 40 kali buku metafisika
karangan Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihafalnya, tapi belum
dipahaminya. Barulah Ibnu Sina memahami benar filsafat aristoteles setelaah
membaca buku al Farabi Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da al Thabi’ah
yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles.6
Di
samping karya yang telah disebutkan, karya al Farabi lainnya antara lain :
1. Syuruh
Risalah Zainun al Kabir al Yunani;
2. Al
Ta’liqat;
3. Risalah
fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al Falsafah;
4. Kitab
Tahshil al Sa’adah;
5. Risalah
fi Itsbat al Mufaraqah;
6. ‘Uyun
al Masa’il;
7. Ara’
Ahl al Madinah al Fadhilah;
8. Ihsha’
al ‘Ulum wa al Ta’rif bi Aghradiha;
9. Maqalah
fi Ma’ani al Aql;
10. Fushul
al Hukm;
11. Risalah
al ‘Aql;7
12. Al
Siyasah al Madaniyah
13. Al
Masa’il al Falsafiyah wa al Ajwibah ‘anha;
14. Al
Ibanah ‘an Ghardi Aristo fi Kitabi ma Ba’da al Thabi’ah.
C. Filsafat
Al Farabi
1.
Pemaduan Filsafat
Al
Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat (al falsafah al
taufiqiyah atau wahdah al falsaafah) yang berkembang sebelumnya, terutama
pemikiraan Plato, Aristoteles dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
Karena itu, ia dikenal filsuf sinkretisme8 yang mempercayai kesatuan
filsafat9. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh
Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipoengaruhi oleh Plato,
sedangkan dalaam persoalan metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Usaha
pemaduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya al Farabi dan telah
mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat. Al Farabi berpendapat bahwa
aliran-aliran filsafat yang bermacam-macam tersebut pada hakikatnya satu,
meskipun berbeda-beda corak. Pendiriannya ini tampak jelas pada
karangan-karangannya, terutama dalam bukunya.10
Cara mempertemukan pendapat Plato dan
Aristoteles al Farabi melihat adanya perbedaan pendapat antara kedua tokoh
filsafat tersebut. Akan tetapi perbedaan itu menurut dia hanyalah dalam
lahirnya saja, dan tidak mengenai persoalan pokok, karena kedua tokoh tersebut
adalah sumber dan pencipta filsafat. Apa yang dikatakan oleh kedua filsuf itu,
tanpa diragukan lagi, menjadi pegangan yang mesti benarnya. Sumber pikiran
kedua filsuf tersebut juga satu, dan oleh karena itu maka pikiran-pikiran filsafatnya
tidak mungkin berbeda. Kalau ada perbedaan, maka tidak lebih dari tiga
kemungkinan.
8 sinkretisme = pemaduan
9 Ibrahim Madkour,”Al Farabi”, dalam M.M
Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1963), hlm.456
10 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1991. Cet: 5), hlm.83
1. Definisi filsafat itu sendiri
tidak benar;
2. Pendapat orang banyak tentang
pikiran-pikiran filsafat dari kedua filsuf tersebut tidak benar;
3. Pengetahuan kita tentang adanya
perbedaan antara keduanya tidak benar.
Menurut
al Farabi, definisi filsafat yang diberikan oleh Plato dan Aristoteles tidak
berbeda, yaitu mengetahui wujud karena ia wujud, seperti yang sering dikatakan
dalam karangannya masing-masing. Pendapat orang banyak tentang pikiran filsafat
keduanya dan kedudukannya dalam dunia filsafat juga tidak diragukan lagi
kebenarannya. Tinggalah kemungkinan ketiga yaitu bahawa perbedaan antara kedua
filsuf tersebut hanya dalam laahirnya saja. Perbedaan lahir yang tidak
sebenarnya itu boleh jadi dikarenakan
a. Cara hidup masing-masing;
b. Gaya bahasa
karangan-karangannya;
c. Sistem pemikirannya.11
Adapun
perbedaan agama dengan filsafa, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran
ddan kebenaran itu hanyalah satu kendaatipun posisi dan cara memperoleh
kebenaran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh filsuf dengan perantara akal mustafad, sedangkan Nabi
melalui perantara wahyu. Kalaupun terdapat perbedaan keduanya tidaklah pada
hakikatnya dan untuk menghindarai itu dipergunakan ta’wil filosofis.
Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan
ajaran Islam. Hal ini tidak berarti al Farabi mengagungkan filsafat dari agama.
Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.12
11 Ibid, hlm. 84
12 Nasution. op. cit. hlm. 35
2.
Metafisika
Adapun
masalah ketuhanan, al Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo
Platonisme, yakni al Maujud al Awwal sebagai sebab pertama bagi segala
yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan dalam ajaran Islam.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, al Farabi mengemukakan dalil Wajib al wujud
dan mumkin al wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua
kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.13
Wajib
al wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya
sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Sedangkan Mumkin al wujud
tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan.
Tentang
penciptaan alam, al Farabi menggunakan teori Neo Platonisme-monistik tentang
emanasi. Tuhan menciptakan alam semenjak zaman azali dengan materi alam yang
berasal dari energi yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam
adalah baru.14
3.
Jiwa
Adapun
tentang jiwa, al Farabi di pengaruhi oleh filsafat Plato. Aristoteles dan
Plotinus. Jiwa bersifat rohani bukaan materi, terwujud setelah adanya badan dan
jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.15
Jiwa manusia mempunyai
daya-daya, sebagai berikut :
a). Daya gerak;
b). Daya mengetahui;
c). Daya berpikir.
13 T.J De Boer, Tarikh al Falsafah fi al
Islam, terjemahan Arab oleh Abd al Hadi Abu Raidah (Kairo: Lajnah al Ta’lifwa
al Tarjamah wa al Nasyr, 1938), hlm. 139
14 Nasution, op. cit. hlm. 37
15 Ibid, hlm. 39
4.
Politik
Menurut al
Farabi, amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya dan
bawahan-bawahannya seperti jantung dan organ-organ yang lebih rendah. Penguasa
ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya di antara yang ada. Ia harus memiliki kualitas-kualitas :
a). Kecerdasan;
b). Ingatan yang baik;
c). Pikiran yang tajam;
d). Cinta pada pengetahuan;
e). Sikap moderat dalam hal
makanan, minuman dan seks;
f). Cinta pada kejujuran;
g). Kemurahan hati;
h). Kesederhanaan;
i). Cinta pada keadilan
j). Ketegaran dan keberanian;
k). Sehat jasmani;
l). Fasih berbicara.16
16
Ibid, 41
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al Farabi atau ab Nashr
dilahirkan di distrik Farab (Atrar) Turkistan 257 H (840 M) dan meninggal pada
bulan Desember 950 M di Damaskus pada usia 80 tahun.
Karyanya yang paling terkenal
adalah Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da al Thabi’ah yang bertujuan
menjelaskan tentang filsafat Aristoteles, bahkan kitab itu di yakini sebagai
kitab yang membuat Ibnu Sina dapat memahami filsafat Aristoteles.
Filsafat beliau di pengaruhi
oleh Plato dan Aristoteles, namun lebih banyak dipengaruhi oleh Aristoteles.
Beliau menganggap bahwa filsafat Yunani tidak bertentangan dengan agama bahkan
mengidentikan dengan pembawa kebenaran dan pencari kebenaran meskipun demikian,
beliau tidak mengagungkan filsafat tetapi tetap meyakini bahwa ajaran Islam
mutlak kebenarannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah.2002.
Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1973. Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment