Blog Rujak : Kumpulan Makalah Online Lengkap

Kumpulan Makalah, Artikel dan Tips Lengkap

MURID YANG CERDIK BANYAK INISIATIF

ADSENSE HERE!
MURID YANG CERDIK BANYAK INISIATIF
A.    Pendahuluan
Di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dewasa ini, peserta didik dituntut lebih banyak mempunyai inisiatif terutama dalam belajar. Inisiatif timbul dari kemauan seseorang untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik yang cerdik, ia akan mempunyai inisiatif dalam belajarnya, maksudnya ia akan mengasah dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, tidak sebatas kemampuan intelektualnya yang digunakan dalam proses belajar sehinga lebih optimal dalam belajarnya.
Murid yang cerdik dan inisiatif akan mempunyai gaya belajar yang berbeda daripada temannya. Di antaranya, dalam pembelajaran ia cenderung akan mengeksplorasikan kemampuannya yang dapat diwujudkan di antaranya mencatat seala hal yang dianggap menjadi poin penting dari materi pelajaran yang disampaikan. Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai murid yang cerdik lagi banyak inisiatif dalam belajar.

B.     Murid yang Cerdik Banyak Inisiatif
Pada umumnya, anak akan mudah meyerap informasi yang bersifat audio daripada informasi yang bersifat visual. Dalam buku Quantum Ikhlas, Erbe Sentanu (2011) menyatakan bahwa otak manusia dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kiri dan kanan. Belahan otak kiri lebih difungsikan untuk pemikiran analitis, logika, bahasa, sains dan matematika. Sedangkan fungsi otak kanan adalah lebih untuk pemikiran holistik, intuisi, kreativitas seni, dan musik. Kemampuan seseorang bergantung bagaimana ia mengaktifkan secara optimal kedua belahan otaknya.[1]
Zaman seperti sekarang ini peserta didik dituntut lebih banyak mempunyai inisiatif terutama dalam belajar. Inisiatif timbul dari kemauan seseorang untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik dalam hal ini berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, di antaranya mampu menulis/mencatat dan memahami materi yang disampaikan gurunya.
Menulis sebagai salah satu gaya belajar untuk mengingat kembali pelajaran yang telah lalu. Mencatat merupakan salah satu langkah belajar efektif. Mencatat bertujuan menolong kita mengingat pokok-pokok penting tanpa membaca kembali bahan bacaan itu sendiri. Mencatat juga dapat membantu hafalan seseorang, misalnya seorang murid ingin menghafal kosakata bahasa Arab, maka dengan catatan kecil ia dapat lebih mudah menghafal dan dapat dibawa kemana-mana.
Disamping hafalan perlu juga dipraktekan, sebagai contoh bentuk inisiatif seperti menulis memperlancar dalam bahasa asing dimulai seperti menulis jadwal sehari-hari atau pun lirik lagu dengan bahasa asing. Orang cerdas tanpa dibarengi dengan rajin mencatat lambat laun dapat dikalahkan oleh orang yang kurang cerdas tetapi rajin mencatat.
Jiwa inisiatif menjadikan peserta didik mengenali tanggung jawab dalam mewujudkan tujuannya. Hal ini sebagai energi positif yang mengajarkan peserta didik untuk memecahkan masalahnya dan menghilangkan ketergantungan pada pendidik. Pentingnya memiliki inisiatif dewasa ini agar dapat memutuskan hal yang harus dilakukan secara tepat. Melatih jiwa inisiatif pada anak dengan memberikan tanggung jawab suatu permasalahan akan melatihnya memecahkan masalah. Seperti, ibu yang melimpahkan anak untuk mengawasi saudaranya, maka dengan berlalunya waktu, anak itu akan mempunyai kemampuan untuk bergantung pada dirinya sendiri dan bisa melakukan segala kewajiban yang dibebankan.[2]

C.    Perlunya Ilmu Untuk Dicatat
1.      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 282
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah,[3] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Tafsirnya
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW menceritakan seseorang dari Bani Israil meminjamkan dari kawannya uang seribu dinar. Oleh orang yang dipinjami ia minta supaya membawa saksi. Namun, orang yang berhutang berkata, “Cukup Allah sebagai saksi.” Lalu ia diminta supaya mendatangkan penjamin. Namun, ia menjawab, “Cukup Allah yang menjamin.” Maka orang yang memberi hutang berkata, “Anda benar.” Lalu uang seribu dinar itu diserahkan kepadanya dengan janji sampai pada saat yang tertentu. Lalu orang yang berhutang itu berangkat keluar daerah menyeberangi laut, kemudian setelah ia menyelesaikan keperluannya ia berusaha mencari perahu untuk mengembalikan hutangnya tepat pada waktunya. Tetapi sama sekali tidak ada perahu, maka ia mengambil kayu yang dilubangi dan memasukkan ke dalamnya uang seribu dinar dengan surat yang tertuju kepada orang yang menghutanginya itu. Kemudian ia membuang kayu itu ke laut sambil berdoa, “Ya Allah, Engkau telah mengetahui bahwa aku berhutang kepada temanku seribu dinar, dan ketika ia minta penjamin saya katakan kepadanya bahwa cukup Allah yang menjamin, dia pun puas. Demikian pula ia minta saksi, saya katakan bahwa cukup Allah yang menjadi saksi dan di pun rela. Kini aku berusaha mencari perahu untuk mengembalikan hutangku, tetapi tidak mendapatkannya, dan kayu ini saya titipkan kepada-Mu.” Lalu kayu itu dilemparkannya ke laut, dan dia pun kembali ke rumah. Setelah itu ia terus berusaha mencari perahu. Pada suatu waktu, orang yang menghutangi itu pergi ke pantai untuk mencari kabar tentang orang yang berlayar itu, kalau-kalau ada perahu yang datang dari sana dan dititipi uang. Namun, ia tidak melihat ada perahu dan ketika akan kembali, tiba-tiba ia melihat kayu terapung di tepi laut. Diambilnya kayu itu untuk kayu bakar di rumah. Dan ketika kayu itu dibelah, di dalamnya ia temukan ada uang seribu dinar dan surat dari pengirimnya. Kemudian tidak lama setelah kejadian itu, datanglah orang yang berhutang itu untuk membayar uang seribu dinar dan berkata, “Demi Allah, saya sudah berusaha mencari perahu, tetapi baru sekarang bisa sampai.” Lalu ia ditanya, “Apakah Anda mengirim apa-apa kepadaku?” Jawabnya, “Tidakkah sudah aku katakan, bahwa tidak ada perahu sebelum yang datang sekarang ini?” Maka ia berkata, “Allah telah membayar hutangmu dalam kayu yang kamu kirimkan itu, karena itu uangmu yang seribu dinar kamu bawa kembali,” (HR. Ahmad).[4]
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang-piutang, melengkapinya dengan alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kemudian hari.
Pembuktian itu dapat berupa bukti tertulis atau adanya saksi.
a.       Bukti Tertulis
Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang juru tulis, yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
=çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4
Adapun syarat-syarat juru tulis itu ialah:
1)      Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
2)      Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi di antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari.

Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat “adil” daripada sifat “berilmu”,
=çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4
karena sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang, dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Tugas juru tulis adalah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berhutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjammnya, cara, serta dan pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji, ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berhutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berhutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan pengakuan.
Allah memperingatkan orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah ia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah diucapkannya. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila ia bersyukur, maka Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan jalan kebahagiaan.
Jika yang berjanji itu orang yang lemah akalnya, atau dia sendiri tidak sanggup mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu ke tangan wali yang bersangkutan.
bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4
Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali itu berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu. Yang dimaksud dengan “orang yang lemah akalnya” ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.[5]
b.      Saksi
Saksi ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa.  Persaksian termasuk salah satu alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini, persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4

Mengenai syarat-syarat “laki-laki” bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut.
1)      Saksi itu hendaklah seorang muslim. Pendapat ini didasarkan perkataan min riijalikum (dari orang laki-laki di antara kamu) yang terdapat dalam ayat tersebut. Dari perkataan itu dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim.
2)      Saksi itu hendaklah dari orang yang adil, tidak memihak sehingga tercapai tujuan diadakannya persaksian.
Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam bidang muamalah, laki-laki mempunyai kemampuan dbandingkan dengan perempuan. Bila persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkianan dia lupa, karena itu hendaklah ada perempuan lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.
Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani, laki-laki lebih menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Lain halnya dengan laki-laki, dia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang.[6]
Dalam ayat ini disebutkan “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”
Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4
Maksudnya ialah:
1)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
2)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
3)      Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang menjadi saksi.
Yang dimaksud dengan “janganlah mereka enggan” yaitu jangan mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.
Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar, dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang sekunder/kecil/remeh.



Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 282 di atas, terdapat hikmah perintah dan larangan kepada manusia, yaitu:
a.       Menegakkkan keadilan dan persaksian.
Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak berdosa apabila tidak ditulis. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.
b.      Allah memerintahkan dalam bermuamalah agar mendatangkan saksi-saksi.
Perintah disini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunah. Tujuannya agar manusia selalu berhati-hati di dalam muamalah.
c.       Allah memperingatkan kepada juru tulis, saksi, dan orang-orang yang melakukan perjanjian agar memudahkan kepada pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang merugikan pihak lain.

2.      Hadits Ibnu Abbas Riwayat Al-Bukhary tentang Keinginan Nabi untuk Mendiktekan Sesuatu








Artinya:
“Ibnu Abbas berkata, “Ketika penyakit Nabi semakin parah beliau bersabda, “Bawalah kertas kemari supaya aku dapat menuliskan untukmu sesuatu agar kamu tidak sesat sesudahnya.” Umar bin Khattab berkata, “Penyakit Nabi sudah semakin parah, kita sudah punya Kitabullah (Al-Qur’an), cukuplah itu.” Para sahabat yang hadir di situ saling berselisih pendapat hingga menimbulkan suara gaduh. Nabi bersabda, “Saya harap Anda semua pergi! Tidak pantas Anda sekalian bertengkar di dekatku.” Ibnu Abbas keluar dan berkata, “Alangkah malangnya terhalang mencatat dari Rasulullah.”

Keterangan Hadits:
Al-waj’u (Penyakit), yaitu penyakit yang mengiringi Nabi berpulang ke pangkuan Ilahi. Imam Bukhary dalam kitab Al-Maghazi dan Ismaili mengatakan, “Sesaat sebelum Nabi wafat.” Imam Bukhary dalam hadits riwayat Said bin Jubair menyatakan, bahwa pada waktu itu adalah Hari Kamis, empat hari sebelum Nabi wafat.
Bikitaabin (Kertas) berarti alat-alat tulis. Pada hadits riwayat Imam Muslim disebutkan, “Ambillah papan dan tempat tintanya.”
Uktub (Saya menulis). Kata ini dalam bentuk majaz yang mengandung perintah untuk menulis. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan bahwa yang diperintahkan adalah menulis, dengan redaksi hadits “Nabi SAW memerintahkan kepadaku mengambil papan untuk menulis sebagai petunjuk agar umatnya tidak tersesat setelah beliau wafat.”
Ghalabahul waja’u (Penyakit yang semakin parah). Nabi sudah tidak kuasa lagi untuk menulis, dan nampaknya Umar memahami situasi itu, ia hanya ingin mengulur-ulur waktu saja. Al-Qurthubi dan lainnya berpendapat, bahwa kata “Ambillah” adalah bentuk perintah, dan orang yang diperintah sepantasnya bersegera untuk melaksanakan perintah tersebut. namun, bagi Umar dan sahabat lainnya, hal itu bukanlah perintah yang wajib, sehingga Umar mengatakan, “Cukuplah dengan Kitab Allah.”

Catatan:
Al-Khattabi mengatakan, “Umar berpendapat, jika masalah yang masih diperselisihkan itu ditulis, maka hilanglah keutamaan para ulama dan ijtihad pun tidak diperlukan lagi. Pada waktu itu, Umar khawatir jika orang-orang munafik mengambil kesempatan dengan menghujat apa yang ditulis pada waktu beliau sakit.
Walaa yanbaghi ‘indit tanaazu’u (Tidak pantas kalian berdebat dihadapanku). Ini menandakan, bahwa yang terbaik pada saat itu adalah bersegera melaksanakan perintah Nabi.[7]

D.    Murid yang Pandai Rajin Mencatat
Hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary tentang apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash





Artinya:
“Abu Hurairah berkata, “Tidak seorang pun di antara sahabat Nabi yang lebih banyak dari saya dalam mengumpulkan hadits, kecuali Abdullah bin Amr bin ‘Ash. Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku tulis.”

Keterangan Hadits:
Fainnahu kaana yaktubu walaa aktubu (Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku tulis). Hal ini merupakan alasan Abu Hurairah yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr bin ‘Ash lebih banyak memiliki hadits daripada dirinya. Padahal, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah jauh lebih banyak daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr itu sendiri.
Apabila dikatakan bahwa kalimat pengecualian dari hadits di atas adalah muttashil (bersambung) dengan kalimat sebelumnya, maka akan ada sejumlah bab yang menerangkan hal ini, yaitu:
1.      Abdullah bin Amr bin ‘Ash terlalu menyibukkan diri dalam beribadah daripada belajar, maka dari itu sangat sedikit hadits yang diriwayatkan dari beliau.
2.      Setelah perluasan Islam ke Mesir dan Thaif, beliau lebih banyak menghabiskan waktu di kedua tempat itu, sedang para pelajar tidak banyak yang datang mengunjungi kedua kota tersebut untuk belajar, sebagaimana mereka mengunjungi kota Madinah tempat Abu Hurairah memberikan fatwa dan menyebarkan hadits. Dari sinilah tampak banyak orang yang menerima hadits dari beliau. Imam Bukhary menyebutkan ada 800 orang dari golongan tabiin yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.
3.      Nabi secara khusus meminta kepada Abu Hurairah agar tidak melupakan hadits yang disampaikan kepadanya.
4.      Abdullah bin Amr bin ‘Ash pernah menjadi orang yang selalu menuntun onta yang membawa buku-buku milik ahli kitab di negeri Syam. Beliau sempat membaca buku tersebut dan membicarakannya. Oleh sebab itu, banyak dari para imam tabiin menghindari untuk mengambil hadits dari beliau.[8]

E.     Kesimpulan
Zaman seperti sekarang ini peserta didik dituntut lebih banyak mempunyai inisiatif terutama dalam belajar. Inisiatif timbul dari kemauan seseorang untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik disini berperan aktif dalam kegiatannya seperti hadits di bawah ini:
“Abu Hurairah berkata, “Tidak seorang pun di antara sahabat Nabi yang lebih banyak dari saya dalam mengumpulkan hadits, kecuali Abdullah bin Amr bin ‘Ash. Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku tulis.”(HR. Bukhari)
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa menulis sebagai salah satu gaya belajar untuk mengingat kembali pelajaran yang telah lalu. Mencatat merupakan salah satu langkah belajar efektif. Mencatat bertujuan menolong kita mengingat pokok-pokok penting tanpa membaca kembali bahan bacaan itu sendiri. Mencatat juga dapat membantu hafalan seseorang, misalnya seorang murid ingin menghafal kosakata bahasa Arab, maka dengan catatan kecil ia dapat lebih mudah menghafal dan dapat dibawa kemana-mana.
Bentuk inisiatif seperti menulis memperlancar dalam bahasa asing dimulai seperti menulis jadwal sehari-hari atau pun lirik lagu dengan bahasa asing. Murid yang cerdik dan inisiatif akan mempunyai gaya belajar yang berbeda daripada temannya. Di antaranya, dalam pembelajaran ia cenderung akan mengeksplorasikan kemampuannya yang dapat diwujudkan di antaranya mencatat seala hal yang dianggap menjadi poin penting dari materi pelajaran yang disampaikan.
Jiwa inisiatif menjadikan peserta didik mengenali tanggung jawab dalam mewujudkan tujuannya. Hal ini sebagai energi positif yang mengajarkan peserta didik untuk memecahkan masalahnya dan menghilangkan ketergantungan pada pendidik. Melatih jiwa inisiatif pada anak dengan memberikan tanggung jawab suatu permasalahan akan melatihnya memecahkan masalah.























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad al-Jurjani, Ali. Hikmatut-Tasyri.

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Al-Bukhari. Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2010.

Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy. Tafsir Ibnu Katsier, terj. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2004.

Iskandar, Dedi. “Menumbuhkan Jiwa Inisiatif Anak” (http:www.google.com/ menumbuhkan-jiwa-inisiatif-anak.html.) diakses pada 19 November 2014 pukul 00.56.

Kementerian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.


Sentanu, Erbe. Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Bandung: Elex Media Komputindo, 2011.





[1] Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, (Bandung: Elex Media Komputindo, 2011) hlm. 63-65.
[2] Dedi Iskandar, “Menumbuhkan Jiwa Inisiatif Anak”, http:www.google.com/menumbuhkan-jiwa-inisiatif-anak.html. diakses pada 19 November 2014 pukul 00.56.
[3] Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[4] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsier, terj. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2004, Jilid I, Cet. 4)  hlm. 557-558.
[5] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010, Jilid I), hlm. 432-434.
[6] Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmatut-Tasyri, Jilid II hlm. 68.
[7] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al-Bukhari, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2010, Jilid I, Cet. 10), hlm. 390-400.
[8] Ibid., hlm. 396-397.
ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © Blog Rujak : Kumpulan Makalah Online Lengkap. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design