ADSENSE HERE!
MURID YANG CERDIK BANYAK
INISIATIF
A. Pendahuluan
Di
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dewasa ini, peserta didik dituntut lebih banyak mempunyai inisiatif
terutama dalam belajar. Inisiatif timbul dari kemauan seseorang untuk
memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik yang cerdik, ia akan mempunyai
inisiatif dalam belajarnya, maksudnya ia akan mengasah dan mengembangkan
kemampuan yang dimilikinya, tidak sebatas kemampuan intelektualnya yang
digunakan dalam proses belajar sehinga lebih optimal dalam belajarnya.
Murid yang cerdik dan inisiatif akan mempunyai gaya belajar yang
berbeda daripada temannya. Di antaranya, dalam pembelajaran ia cenderung akan
mengeksplorasikan kemampuannya yang dapat diwujudkan di antaranya mencatat seala
hal yang dianggap menjadi poin penting dari materi pelajaran yang disampaikan.
Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai murid yang cerdik lagi banyak
inisiatif dalam belajar.
B. Murid yang Cerdik Banyak Inisiatif
Pada umumnya, anak akan mudah meyerap informasi yang bersifat audio
daripada informasi yang bersifat visual. Dalam buku Quantum Ikhlas, Erbe
Sentanu (2011) menyatakan bahwa otak manusia dibagi menjadi dua belahan, yaitu
belahan kiri dan kanan. Belahan otak kiri lebih difungsikan untuk pemikiran
analitis, logika, bahasa, sains dan matematika. Sedangkan fungsi otak kanan
adalah lebih untuk pemikiran holistik, intuisi, kreativitas seni, dan musik.
Kemampuan seseorang bergantung bagaimana ia mengaktifkan secara optimal kedua
belahan otaknya.[1]
Zaman seperti sekarang ini peserta didik dituntut lebih banyak
mempunyai inisiatif terutama dalam belajar. Inisiatif timbul dari kemauan
seseorang untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik dalam hal ini
berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, di antaranya mampu menulis/mencatat
dan memahami materi yang disampaikan gurunya.
Menulis sebagai salah satu gaya belajar untuk mengingat kembali
pelajaran yang telah lalu. Mencatat merupakan salah satu langkah belajar
efektif. Mencatat bertujuan menolong kita mengingat pokok-pokok penting tanpa
membaca kembali bahan bacaan itu sendiri. Mencatat juga dapat membantu hafalan
seseorang, misalnya seorang murid ingin menghafal kosakata bahasa Arab, maka
dengan catatan kecil ia dapat lebih mudah menghafal dan dapat dibawa
kemana-mana.
Disamping hafalan perlu juga dipraktekan, sebagai contoh bentuk
inisiatif seperti menulis memperlancar dalam bahasa asing dimulai seperti
menulis jadwal sehari-hari atau pun lirik lagu dengan bahasa asing. Orang
cerdas tanpa dibarengi dengan rajin mencatat lambat laun dapat dikalahkan oleh
orang yang kurang cerdas tetapi rajin mencatat.
Jiwa inisiatif menjadikan peserta didik mengenali tanggung jawab
dalam mewujudkan tujuannya. Hal ini sebagai energi positif yang mengajarkan
peserta didik untuk memecahkan masalahnya dan menghilangkan ketergantungan pada
pendidik. Pentingnya memiliki inisiatif dewasa ini agar dapat memutuskan hal
yang harus dilakukan secara tepat. Melatih jiwa inisiatif pada anak dengan
memberikan tanggung jawab suatu permasalahan akan melatihnya memecahkan
masalah. Seperti, ibu yang melimpahkan anak untuk mengawasi saudaranya, maka
dengan berlalunya waktu, anak itu akan mempunyai kemampuan untuk bergantung
pada dirinya sendiri dan bisa melakukan segala kewajiban yang dibebankan.[2]
C. Perlunya Ilmu Untuk Dicatat
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 282
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6u‹ù=sù È@Î=ôJãŠø9ur “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ Ÿwur ó§y‚ö7tƒ çm÷ZÏB $\«ø‹x© 4 bÎ*sù tb%x. “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# $·gŠÏÿy™ ÷rr& $¸ÿ‹Ïè|Ê ÷rr& Ÿw ßì‹ÏÜtGó¡o„ br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çm•‹Ï9ur ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 (#r߉Îhô±tFó™$#ur Èûøïy‰‹Íky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh‘ ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u‘ ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#y‰pk’¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y‰÷nÎ) tÅe2x‹çFsù $yJßg1y‰÷nÎ) 3“t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#y‰pk’¶9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #’n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& y‰ZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy‰»pk¤¶=Ï9 #’oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRrãƒÏ‰è? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3ø‹n=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿr߉Îgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §‘!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur Ó‰‹Îgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah,[3]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka
yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”
Tafsirnya
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa
Rasulullah SAW menceritakan seseorang dari Bani Israil meminjamkan dari
kawannya uang seribu dinar. Oleh orang yang dipinjami ia minta supaya membawa
saksi. Namun, orang yang berhutang berkata, “Cukup Allah sebagai saksi.” Lalu
ia diminta supaya mendatangkan penjamin. Namun, ia menjawab, “Cukup Allah yang
menjamin.” Maka orang yang memberi hutang berkata, “Anda benar.” Lalu uang
seribu dinar itu diserahkan kepadanya dengan janji sampai pada saat yang
tertentu. Lalu orang yang berhutang itu berangkat keluar daerah menyeberangi
laut, kemudian setelah ia menyelesaikan keperluannya ia berusaha mencari perahu
untuk mengembalikan hutangnya tepat pada waktunya. Tetapi sama sekali tidak ada
perahu, maka ia mengambil kayu yang dilubangi dan memasukkan ke dalamnya uang
seribu dinar dengan surat yang tertuju kepada orang yang menghutanginya itu.
Kemudian ia membuang kayu itu ke laut sambil berdoa, “Ya Allah, Engkau telah
mengetahui bahwa aku berhutang kepada temanku seribu dinar, dan ketika ia minta
penjamin saya katakan kepadanya bahwa cukup Allah yang menjamin, dia pun puas.
Demikian pula ia minta saksi, saya katakan bahwa cukup Allah yang menjadi saksi
dan di pun rela. Kini aku berusaha mencari perahu untuk mengembalikan hutangku,
tetapi tidak mendapatkannya, dan kayu ini saya titipkan kepada-Mu.” Lalu kayu
itu dilemparkannya ke laut, dan dia pun kembali ke rumah. Setelah itu ia terus
berusaha mencari perahu. Pada suatu waktu, orang yang menghutangi itu pergi ke
pantai untuk mencari kabar tentang orang yang berlayar itu, kalau-kalau ada
perahu yang datang dari sana dan dititipi uang. Namun, ia tidak melihat ada
perahu dan ketika akan kembali, tiba-tiba ia melihat kayu terapung di tepi
laut. Diambilnya kayu itu untuk kayu bakar di rumah. Dan ketika kayu itu
dibelah, di dalamnya ia temukan ada uang seribu dinar dan surat dari
pengirimnya. Kemudian tidak lama setelah kejadian itu, datanglah orang yang
berhutang itu untuk membayar uang seribu dinar dan berkata, “Demi Allah, saya
sudah berusaha mencari perahu, tetapi baru sekarang bisa sampai.” Lalu ia
ditanya, “Apakah Anda mengirim apa-apa kepadaku?” Jawabnya, “Tidakkah sudah aku
katakan, bahwa tidak ada perahu sebelum yang datang sekarang ini?” Maka ia
berkata, “Allah telah membayar hutangmu dalam kayu yang kamu kirimkan itu,
karena itu uangmu yang seribu dinar kamu bawa kembali,” (HR. Ahmad).[4]
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada
orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap
melakukan transaksi utang-piutang, melengkapinya dengan alat bukti, sehingga
dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kemudian
hari.
Pembuktian
itu dapat berupa bukti tertulis atau adanya saksi.
a. Bukti Tertulis
Bukti
tertulis hendaklah ditulis oleh seorang juru tulis, yang menuliskan isi
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
=çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4
Adapun syarat-syarat juru
tulis itu ialah:
1) Orang yang adil, tidak memihak kepada
salah satu pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan
pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
2) Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang
berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi
nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru
tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi di antara pihak-pihak yang
berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari.
Dalam susunan ayat ini didahulukan
menyebut sifat “adil” daripada sifat “berilmu”,
=çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4
karena
sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu,
tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat
yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang, dapat diharapkan daripadanya
nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Tugas juru tulis adalah menuliskan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji.
Caranya ialah pihak yang berhutang mendiktekan kepada juru tulis tentang
sesuatu yang telah dipinjammnya, cara, serta dan pelaksanaan perjanjian itu dan
sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji,
ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berhutang,
karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak
yang berhutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan pengakuan.
Allah
memperingatkan orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan
baik. Hendaklah ia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah
diucapkannya. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang
yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila ia bersyukur, maka Allah akan
selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan jalan
kebahagiaan.
Jika yang berjanji itu orang yang lemah
akalnya, atau dia sendiri tidak sanggup mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan
itu ke tangan wali yang bersangkutan.
bÎ*sù tb%x. “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# $·gŠÏÿy™ ÷rr& $¸ÿ‹Ïè|Ê ÷rr& Ÿw ßì‹ÏÜtGó¡o„ br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çm•‹Ï9ur ÉAô‰yèø9$$Î/ 4
Hendaklah
wali itu orang yang adil dan mengetahui hukum-hukum yang berhubungan dengan
muamalah. Hendaklah para wali itu berhati-hati dalam melaksanakan tugas
perwalian itu. Yang dimaksud dengan “orang yang lemah akalnya” ialah orang yang
belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup
mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.[5]
b. Saksi
Saksi
ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Persaksian termasuk salah satu alat-alat bukti
(bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu
perselisihan atau perkara.
Menurut
ayat ini, persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang
laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang
laki-laki dan dua orang perempuan.
(#r߉Îhô±tFó™$#ur Èûøïy‰‹Íky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh‘ ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u‘ ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#y‰pk’¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y‰÷nÎ) tÅe2x‹çFsù $yJßg1y‰÷nÎ) 3“t÷zW{$# 4
Mengenai syarat-syarat “laki-laki” bagi
yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut.
1) Saksi itu hendaklah seorang muslim.
Pendapat ini didasarkan perkataan min riijalikum (dari orang laki-laki
di antara kamu) yang terdapat dalam ayat tersebut. Dari perkataan itu dipahami
bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim.
2) Saksi itu hendaklah dari orang yang adil,
tidak memihak sehingga tercapai tujuan diadakannya persaksian.
Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian
laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang laki-laki dapat diganti dengan
dua orang saksi perempuan. Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam bidang
muamalah, laki-laki mempunyai kemampuan dbandingkan dengan perempuan. Bila
persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkianan dia lupa, karena itu
hendaklah ada perempuan lain yang ikut sebagai saksi yang dapat
mengingatkannya.
Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani,
laki-laki lebih menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang
dihadapinya, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Lain
halnya dengan laki-laki, dia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia
tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang.[6]
Dalam ayat ini disebutkan “janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”
Ÿwur z>ù'tƒ âä!#y‰pk’¶9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4
Maksudnya
ialah:
1) Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi
dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
2) Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi
bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah orang yang mengetahui terjadinya
peristiwa itu.
3) Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi
terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang menjadi
saksi.
Yang dimaksud dengan “janganlah mereka
enggan” yaitu jangan mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan
melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan
persaksian itu fardu kifayah.
Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya,
agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan
perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar, dan dijelaskan
syarat-syarat dan waktunya. Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah
memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban,
sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang
sekunder/kecil/remeh.
Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 282 di atas,
terdapat hikmah perintah dan larangan kepada manusia, yaitu:
a. Menegakkkan keadilan dan persaksian.
Jika
perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak berdosa apabila tidak ditulis.
Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan
perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.
b. Allah memerintahkan dalam bermuamalah agar
mendatangkan saksi-saksi.
Perintah
disini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunah. Tujuannya agar manusia
selalu berhati-hati di dalam muamalah.
c. Allah memperingatkan kepada juru tulis,
saksi, dan orang-orang yang melakukan perjanjian agar memudahkan kepada
pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak
bertindak yang merugikan pihak lain.
2. Hadits Ibnu Abbas Riwayat Al-Bukhary
tentang Keinginan Nabi untuk Mendiktekan Sesuatu
Artinya:
“Ibnu
Abbas berkata, “Ketika penyakit Nabi semakin parah beliau bersabda, “Bawalah
kertas kemari supaya aku dapat menuliskan untukmu sesuatu agar kamu tidak sesat
sesudahnya.” Umar bin Khattab berkata, “Penyakit Nabi sudah semakin parah,
kita sudah punya Kitabullah (Al-Qur’an), cukuplah itu.” Para sahabat yang hadir
di situ saling berselisih pendapat hingga menimbulkan suara gaduh. Nabi
bersabda, “Saya harap Anda semua pergi! Tidak pantas Anda sekalian
bertengkar di dekatku.” Ibnu Abbas keluar dan berkata, “Alangkah malangnya
terhalang mencatat dari Rasulullah.”
Keterangan Hadits:
Al-waj’u
(Penyakit), yaitu penyakit yang mengiringi Nabi berpulang ke pangkuan Ilahi.
Imam Bukhary dalam kitab Al-Maghazi dan Ismaili mengatakan, “Sesaat
sebelum Nabi wafat.” Imam Bukhary dalam hadits riwayat Said bin Jubair
menyatakan, bahwa pada waktu itu adalah Hari Kamis, empat hari sebelum Nabi
wafat.
Bikitaabin
(Kertas) berarti alat-alat tulis. Pada hadits riwayat Imam Muslim disebutkan, “Ambillah
papan dan tempat tintanya.”
Uktub
(Saya menulis). Kata ini dalam bentuk majaz yang mengandung perintah untuk menulis.
Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan bahwa yang diperintahkan adalah menulis,
dengan redaksi hadits “Nabi SAW memerintahkan kepadaku mengambil papan untuk
menulis sebagai petunjuk agar umatnya tidak tersesat setelah beliau wafat.”
Ghalabahul waja’u (Penyakit
yang semakin parah). Nabi sudah tidak kuasa lagi untuk menulis, dan nampaknya
Umar memahami situasi itu, ia hanya ingin mengulur-ulur waktu saja. Al-Qurthubi
dan lainnya berpendapat, bahwa kata “Ambillah” adalah bentuk perintah, dan
orang yang diperintah sepantasnya bersegera untuk melaksanakan perintah
tersebut. namun, bagi Umar dan sahabat lainnya, hal itu bukanlah perintah yang
wajib, sehingga Umar mengatakan, “Cukuplah dengan Kitab Allah.”
Catatan:
Al-Khattabi mengatakan, “Umar berpendapat,
jika masalah yang masih diperselisihkan itu ditulis, maka hilanglah keutamaan
para ulama dan ijtihad pun tidak diperlukan lagi. Pada waktu itu, Umar khawatir
jika orang-orang munafik mengambil kesempatan dengan menghujat apa yang ditulis
pada waktu beliau sakit.
Walaa yanbaghi ‘indit tanaazu’u
(Tidak pantas kalian berdebat dihadapanku). Ini menandakan, bahwa yang terbaik
pada saat itu adalah bersegera melaksanakan perintah Nabi.[7]
D. Murid yang Pandai Rajin Mencatat
Hadits
Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary tentang apa yang dilakukan oleh Abdullah bin
Amr bin ‘Ash
Artinya:
“Abu Hurairah berkata,
“Tidak seorang pun di antara sahabat Nabi yang lebih banyak dari saya dalam
mengumpulkan hadits, kecuali Abdullah bin Amr bin ‘Ash. Beliau menulis
hadits-hadits yang tidak aku tulis.”
Keterangan Hadits:
Fainnahu kaana yaktubu walaa aktubu
(Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku tulis). Hal ini merupakan alasan
Abu Hurairah yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr bin ‘Ash lebih banyak
memiliki hadits daripada dirinya. Padahal, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah jauh lebih banyak daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Amr itu sendiri.
Apabila dikatakan bahwa kalimat
pengecualian dari hadits di atas adalah muttashil (bersambung) dengan
kalimat sebelumnya, maka akan ada sejumlah bab yang menerangkan hal ini, yaitu:
1. Abdullah bin Amr bin ‘Ash terlalu
menyibukkan diri dalam beribadah daripada belajar, maka dari itu sangat sedikit
hadits yang diriwayatkan dari beliau.
2. Setelah perluasan Islam ke Mesir dan Thaif,
beliau lebih banyak menghabiskan waktu di kedua tempat itu, sedang para pelajar
tidak banyak yang datang mengunjungi kedua kota tersebut untuk belajar,
sebagaimana mereka mengunjungi kota Madinah tempat Abu Hurairah memberikan
fatwa dan menyebarkan hadits. Dari sinilah tampak banyak orang yang menerima
hadits dari beliau. Imam Bukhary menyebutkan ada 800 orang dari golongan tabiin
yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.
3. Nabi secara khusus meminta kepada Abu
Hurairah agar tidak melupakan hadits yang disampaikan kepadanya.
4. Abdullah bin Amr bin ‘Ash pernah menjadi
orang yang selalu menuntun onta yang membawa buku-buku milik ahli kitab di
negeri Syam. Beliau sempat membaca buku tersebut dan membicarakannya. Oleh
sebab itu, banyak dari para imam tabiin menghindari untuk mengambil hadits dari
beliau.[8]
E. Kesimpulan
Zaman seperti sekarang ini peserta didik
dituntut lebih banyak mempunyai inisiatif terutama dalam belajar. Inisiatif
timbul dari kemauan seseorang untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Peserta didik
disini berperan aktif dalam kegiatannya seperti hadits di bawah ini:
“Abu Hurairah berkata, “Tidak seorang pun
di antara sahabat Nabi yang lebih banyak dari saya dalam mengumpulkan hadits,
kecuali Abdullah bin Amr bin ‘Ash. Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku
tulis.”(HR. Bukhari)
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa menulis sebagai salah
satu gaya belajar untuk mengingat kembali pelajaran yang telah lalu. Mencatat
merupakan salah satu langkah belajar efektif. Mencatat bertujuan menolong kita
mengingat pokok-pokok penting tanpa membaca kembali bahan bacaan itu sendiri.
Mencatat juga dapat membantu hafalan seseorang, misalnya seorang murid ingin
menghafal kosakata bahasa Arab, maka dengan catatan kecil ia dapat lebih mudah
menghafal dan dapat dibawa kemana-mana.
Bentuk inisiatif seperti menulis memperlancar dalam bahasa asing
dimulai seperti menulis jadwal sehari-hari atau pun lirik lagu dengan bahasa
asing. Murid yang cerdik dan inisiatif akan mempunyai gaya belajar yang berbeda
daripada temannya. Di antaranya, dalam pembelajaran ia cenderung akan
mengeksplorasikan kemampuannya yang dapat diwujudkan di antaranya mencatat
seala hal yang dianggap menjadi poin penting dari materi pelajaran yang
disampaikan.
Jiwa inisiatif menjadikan peserta didik mengenali tanggung jawab
dalam mewujudkan tujuannya. Hal ini sebagai energi positif yang mengajarkan
peserta didik untuk memecahkan masalahnya dan menghilangkan ketergantungan pada
pendidik. Melatih jiwa inisiatif pada anak dengan memberikan tanggung jawab
suatu permasalahan akan melatihnya memecahkan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
al-Jurjani, Ali. Hikmatut-Tasyri.
Al
Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Al-Bukhari. Jakarta Selatan:
Pustaka Azzam, 2010.
Bahreisy,
Salim dan Said Bahreisy. Tafsir Ibnu Katsier, terj. Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2004.
Iskandar,
Dedi. “Menumbuhkan Jiwa Inisiatif Anak” (http:www.google.com/ menumbuhkan-jiwa-inisiatif-anak.html.)
diakses pada 19 November 2014 pukul 00.56.
Kementerian
Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Sentanu,
Erbe. Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Bandung: Elex
Media Komputindo, 2011.
[1]
Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati,
(Bandung: Elex Media Komputindo, 2011) hlm. 63-65.
[2] Dedi Iskandar,
“Menumbuhkan Jiwa Inisiatif Anak”,
http:www.google.com/menumbuhkan-jiwa-inisiatif-anak.html. diakses pada 19
November 2014 pukul 00.56.
[3] Bermuamalah ialah
seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[4] Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsier, terj. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2004, Jilid
I, Cet. 4) hlm. 557-558.
[5] Kementerian Agama RI, Al-Quran
dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010, Jilid I), hlm. 432-434.
[6] Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmatut-Tasyri,
Jilid II hlm. 68.
[7]
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al-Bukhari, (Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam, 2010, Jilid I, Cet. 10), hlm. 390-400.
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment