ADSENSE HERE!
PENDIDIKAN
ISLAM MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG
PENDIDIKAN
ISLAM MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG
A.
Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Penaklukan
bangsa Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan
kekuatan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses
“westernisasi” di Indonesia. Kedatangan kolonial Belanda memang telah membawa
kemajuan teknologi, tetapi tujuannya hanya untuk menigkatkan hasil
penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Mereka
memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga
yang dapat membantu kepentingan mereka denan upah yang rendah bila dibandingkan
dengan jika mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan
pendidikan itu adalah “westernisasi” dan “kristenisasi,” yakni hanya untuk kepentingan
kolonial Belanda dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan
penjajahan Belanda di Indonesia selama kurang lebih 3,5 abad.
Pemerintah
Belanda mulai menjajah di Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter
Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar
Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayidin Panotogomo. Pada zaman sultan ini,
hitungan tahun Saka diasimilasikan dengan tahun Hijriyah yang berlaku di
seluruh negara.
Sejak
zaman VOC (Belanda Swasta) terutama ketika Van den Bosh menjadi Gubernur
Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah
gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang
mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu dan di tiap daerah karesidenan
didirikan satu sekolah agama Kristen.
Gubernur
Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan
berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah
Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan
menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati
undang-undang dan hukum negara.”
Jiwa
dari surat edaran di atas menggambarkan tujuan daripada didirikannya sekolah
dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di pondok-pondok
pesantren, masjid, mushalla, dan lainnya dianggap tidak membantu pemerintah
Belanda. Bahkan, para santri pondok masih dianggap buta huruf latin.
Pada
tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yan disebut “Priesterraden.”
Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran
(baca: pengajian) harus minta izin terlebih dahulu.
Kemudian
pada tahun 1925 M pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang lebih ketat
lagi terhadap pendidikan Islam, yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh
memberikan pengajaran. Peraturan ini diberlakukan karena adanya gerakan
organisasi pendidikan yang sudah tampak tumbuh, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, Partai Syarikat Islam (PSI), Al-Irsyad, Nahdlatul Watan, dan lain-lain.
Pada
tahun 1932 M keluar pula peraturan yang membrantas dan menutup madrasah dan
sekolah yang tidak diberikan izin untuk memberikan pengajaran atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi
Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan
ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun
1928 M, yaitu berupa Sumpah Pemuda.
Jika
kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yan demikia ketat dab keras
mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok
pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama pendidikan
Islam di Indonesia akan menjadi lumpuh atan porak poranda. Akan tetapi, apa
yang disaksikan sejarah adalah kenyataan sebaliknya. Jiwa Islam tetap
terpelihara dengan baik. Para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda dan mereka pun menyingkir dari
tempat yang dekat dengan Belanda.[1]
B.
Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang
Jepang
menjajah Indonesia setelah berhasil mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam
Perang Dunia II. Meraka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa
semboyan: “Asia Timur Raya untuk Asia.”
Pada
babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela
kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang Dunia
II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh berbagai
kebijaksanaan, antara lain:
1. KUA (Kantor Urusan Agama) yang pada zaman
Belanda disebut Voor Islamistische Saken
yang dipimpin oleh orang-orang Orientalisten Belanda, diubah oleh Jepang
menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu KH. Hasyim
Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur.
2. Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat
kunjunan dan bantuan dari pembesar Jepang.
3. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentuka
barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
4. Pemerintah Jepang juga mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakir, dan Mohammad Hatta.
5. Para ulama Islam bekerja sama dengan
pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA).
6. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi
persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat
kemasyarakatan.
Maksud dari pemerintah Jepang menampakkan
diri seakan-akan membela kepentingan Islam tidak lain hanyalah upaya Jepang
menyusun kekuatan dari umat Islam dan nasionalis Indonesia agar dapat dibina
demi kepentingan Perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Dunia
pendidikan yang seharusnya dikembangkan tetapi secara umum terbengkalai. Para
siswa di sekolah tiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris-berbaris,
bekerja bhakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Mereka tidak
mendapatkan pengajaran yang layak sebagaimana mestinya.[2]
C.
Misi dan Tujuan Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan
Belanda dan Jepang
Misi
Islam secara garis besar adalah untuk memperbaiki peri kehidupan manusia. Islam
tidak lain adalah agama yan demokratis, yang menghendaki hidup damai antar
sesame manusia. Ajarannya tidak pernah diberikan dengan jalan paksa dan
sebaliknya umat Islam tidak mau dipaksakan oleh pihak lain dalam segala urusan,
baik urusan kepercayaan maupun urusan yang lainnya.
Adapun
tujuan pendidikan masa penjajahan Belanda dan Jepang secara garis besar
meliputi 2 hal pokok, yaitu untuk mempertebal akan keyakinan Islam itu sendiri
dan mempertahankan hak-hak manusia dengan jalan politik atau perlawanan perang.
Tujuan
pendidikan yang dicantumkan pada pendidikan Islam ketika zaman penjajahan
Belanda dan Jepang antara lain:
1. Asas tujuan Muhammadiyah: mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenarnya dan asas perjuangannya dakwah Islamiyah, amar
ma’ruf nahi munkar.
2. I.N.S (Indonesische
Nederlanshe School) dipelopori oleh Muhammad Syafi’I pada tahun 1899-1969,
yang bertujuan mendidik anak agar berpikir rasional, bekerja dengan
sungguh-sungguh, dan membentuk manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan.
3. Tujuan Nahdlatul Ulama, sebelum menjadi
partai politik, memegang teguh empat mahzab, di samping mengerjakan apa-apa
yang menjadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.[3]
[1] Zuharini, Sejarah Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, cet.11 tahun 2011), hlm. 146-150
[2] Ibid, hlm. 150-152
[3] Rohidin Wahab FZh, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 19
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment