ADSENSE HERE!
Problem
Transformasi (periwayatan) Hadits
A. Pendahuluan
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Swt yang telah memberikan kemudahan dalam pembuatan makalah ini. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi yang telah membawa risalah
islam dari Allah Swt berupa al-Qur’an dan Hadis sebagai penguat dari
hukum-hukum di dalam al-Qur’an.
Sebagai
dasar hukum islam yang kedua hadits
merupakan segala yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, harus diseleksi, apakah
benar-benar periwayatannya akan sampai kepada Nabi Muhammad Saw atau tidak.
Mengingat bahwa periwayatan hadits
sangat lah jauh-jauh hari dengan masa hidup Nabi Saw.
Untuk
itu untuk mengetahui sampainya periwayatan hadits dari Nabi perrlu diketahui
bagaimana cara periwayatan hadits
tersebut. Masalah-masalah tersebut akan kami bahas di dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
syarat-syarat untuk bisa meriwayatkan hadits ?
2. Bagaimana
tata cara periwayatan hadits
sehingga bisa sampai pada zaman sekarang ?
3. Bagaimana
hukum periwayatan anak-anak, orang kafir, dan orang fasik ?
4. Apakah
ada pembagian hadits yang berdasar atas periwayatannya ?
C. Pembahasan
Para ulama’ ahli hadis mengistilahkan “
menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan
menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul. Sedang “ menyampaikan atau
meriwayatkan hadits
kepada orang lain” mereka istilahka dengan al-ada’.
[1]
1. Periwayatan
Hadits
Sebagaimana telah disebutkan dalam makalah yang
sebelumnya, bahwa al-ada’ ialah
menyampaikan atau meriwayatkan hadits
kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan
sudah barang tentu manurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau
tidaknya suatu hadits
juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh
menetapkan beberapa syarat bagi penerimaan hadits, yakni sebagai berikut:
a. Islam
Pada
waktu meriwayatkan suatu hadits,
maka seseorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidah sah. Seandaiya perawinya seorang
fasik saja kita disuruh ber-tawaquf,
maka lebih-lebih perawi yang kafir.
يا ايها الذين امنوا انجاءكم فاسق بنباء فتبينوا
انتصيبوا قوما بجها لة فتصحوا علي فا فعلتم نا دمين
"Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. "
b. Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits,
walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis Rasul:
رفع
القلم عن ثلا ثة عن المجنو ن المغلوب على عقله
حتى يفيق وعن الفا ئم حتى يستيقيظ وعن الصبي
حتى يحتلم
“
hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang
gila, sampai dia sembuh, orang yang
tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi.”
c. ‘Adalah
Yang
dimaksud dengan adil adlah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan
orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan
percaya pada diri sendiri dengan kebenaranya, menjauhkan diri dari dosa besar
dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah.
Tetapitergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
d. Dhabit
Dhabit
ialah:
تيقظ
الراوئ حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت التحمل الي وقت الاداء
“ teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan
hafat sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.”
Jalannya
mengetahui ke-dhabit-an perawi dengan
jalan i’tibar terhadap berita-berita
yang tsiqat (kuat) dan memberikan
keyakinan.
Ada
yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas,
antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tersebut tidak syadz (janggal), tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat
al-qur’an.
Dari
uraian dia atas dapat ditarik kesimpulan bahwa al-tahammul dan al-‘ada’
merupakan masalah yang cukup berat, baik berkaitan dengan cara ber-tahammul maupun syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam al-‘ada’.[2]
Adapun
sifat-sifat ke-dhabit-an perawi, menurut para ulama’ dapat diketahui
melalui:
Ø Kesaksian
para ulama’
Ø Berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya.
Ke-dhabit-an seorang perawi, tidak berarti ia
terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Mungkin saja kekeliruan
atau kesalahn itu sesekali terjadi pada seorang
perawi.
Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.[3]
2. Tatacara
penerimaan riwayat hadits
Ulama hadits menetapkan pelpagai istilah (harf) atau term tertentu untuk
menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad. istilah
atau term tersebut menggambarkan cara yang telah ditempuh oleh periwayat hadits
yang bersangkutan tatkala menerima riwayat hadits. Pada umumnya, ulama membagi
tata cara penerimaan riwayat hadits
menjadi delapan ragam.
a. Al-Sama’ min lafd al-syakh (pembacaan
guru kepada murid)
b. Al-Qira’ah ala as-syaykh (pembacaan
murid kepada guru)
c. Al-Ijazah (mengijinkan seseorang
menyampaikan sebuah hadis atau kitab berdasarkan otoritas ulama / pemberi ijin
tanpa dibacakan seorang pun)
d. Al-Munawalah (menyerahkan kepada
seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan)
e. Al-Mukatabah (menuliskan hadis untuk
seseorang)
f. Al-i’lam (mengabarkan kepada
seseorang bahwa ia/ yang mengabarka mengijinkan untuk meriwayatkan bahan
tertentu)
g. Al-Wasiyah (mempercayakan kitabnya
kepada seseorang)
h. Al-Wijadah (menemukan buku atau
hadis yang ditulis seseorang, persis seperti kita sekarang ini menemukan naskah
di perpustakaan atau di tempat lain)
Akan
tetapi, dalam periode sahabat, hanya yang pertama dari delapan metode ini yang
digunakan secara umum, sementara metode lain diabaikan. Para murid disisi guru,
melayaninya, dan belajar darinya, ketika guru mmenyampaika suatu hadits, mereka segera mencatat dan
menghafalkannya. Az-Zuhri mengatakan, “ orang-orang suka duduk dengan Ibnu
Umar, tetapi tidaka seorang pun berani mengajukanpetanyaan hingga seseorang
dari luar datang bertanya. Kami duduk dengan dengan Ibnu al-Musayyap tanpa
bertanya kepadanya, sampai seseorang datang mengajukan pertanyaan. Pertanyaan
tersebut mendorongnya untuk mengemukakanya menurut kemauannya sendiri.
Tak
lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah satu dan dua. Telah
banyak dibicarakan mengenai metode belajar mana yang terbaik diantara kedua
ini. Dalam pandangan sebagian ulama, kedua metode ini mempunyai manfaat yang
sama. Tahtawi (wafat 328 H) menuangkan pendapatnya dalam sebuah kitab kecil
mengenai kesejajaran kedua metode ini.
Berbagai
terminologi telah digunakan dalam menyampaikan hadits untuk memperlihatkan metode mana
yang digunakan dalam menppelajarinya (menerimanya) sebagai mana akan kita lihat
nanti. Seseorang tidak berhak menggunakan suatu hadits pun dalam kehidupan
tulis menulisnya jika ia tidak meneriama hadits itu melalui salah satu
dari metode metode di atas, yakni sampai nomor tujuh. Nomor delapan tidak
diakui oleh ulama. [4]
3. Periwayatan
anak-anak, orang kafir, dan fasik
Para muhaddisin memperselisihkan tentang sah
atau tidaknya anak yang belum dewasa, orang yang masih dakm kekafiran, dan yang
masih dalam keadaan fasik, disaat dia menerima hadits dari Nabi Saw untuk
meriwayatka hadits. Jumhur muhaddisin berpendapat bahwa seorang yang
menerima hadits
sewaktu masih anak-anak atau kafir maupun fasik dapat diterima periwayatannya,
bila disampaikan setelah masing-masing dewasa, memeluk islam, dan taubat.
Adapun alasan jumhur ulama tentang yang belum
dewasa, dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma’. Yakni semua umat islam
tidak ada yang membantah dan membedakan riwayat-riwayat sahabat yang diterima
sebelum dan sesudah dewasa. Pasa sahabat yang menerima hadis sebelum dewasa
seperti: al-Hasan, al-Husen, Ibnu Abbas, dll. Namun pendapat jumhur, batas
minimal umurnya yaitu 15 tahun, sebab umur inilah ana-anak mulai menginjak tamyis.
Kebanyakan para muhaddisin, tidak membatasinya
dengan umur tertentu, tetapi dengan ketentuan tercapainya ke-tamyis-an
(kepekaan, usia anak dapat membedakan dua buah benda yang hampir bersamaan
rupanya) yang biasanya tercapai setelah usia 5 tahun.
Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan
dalil qiyas. Sedang penerimaan orang gila tidak diterima, karena pada saat itu
ia mendengar suatu hadits
kesadaranya hilang. [5]
4. Istilah
yang digunakan untuk melukiskan periwayatan hadits
Banya istilah yang digunakan unntuk maksud ini.
Karena setiap isnad memuat banyak nama (periwayat), istilah-istilah ini
pun sering berulang. Guna menghemat spaci dan waktu, muhaddisin
menggunakan singkatan, sebagaimana berikut ini:
a. Haddatsana (حدثنا ) : kebanyakan diitulis tsana ( (ثنا atau na (نا )
saja. Haddatsana kebanyakan
digunakan untuk cara belajar melalui
pembacaan oleh guru (metode pertama).
b. Ahbarana ( اخبرنا) : kebanyakan
ditulis ana ( انا) saja, dan kadang arana ( ارانا). Ahbarana digunakan untuk cara
belajar melalui cara kedua. Kendati begitu, sebagian ulama menggunakan dua
istilah tesebut secara bergantian.
c. Anba’ana (انباءنا ) : digunakan
dalam ijazah dan munawalah, kadang malah istilah haddatsana
ijazatan digunakan munawalah.
d. Sami’a (سمع ) : digunakan untuk cara belajar melalui
metode partama saja.
e. An (عن ) : digunakan dalam seluruh metode.
Semua
metode ini tidak sam bilainya. Sami’tu, haddatsana, haddatsani, akhbarana, dan
akhbarani, adalah yang terunggul, meskipun para ahli berbeda tentang
mana yang terbaik di antaranya. Yang jelas an merupakan yang terlemah.[6]
5. Pembagian
hadis menurut model periwayatan
a. Mu’ an an
Adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan
menggunakan kata an (dari), seperti an fulaanin, an fulaanin, an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata yang jelasdan
menyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan, atau menggambarkan
dari rawi sebelunya, namun disyaratkan harus tetap dengan menyebutkan nama-nama
rawinya.
Hadits mu’an’an menurut mayoritas ulama’ termasuk kategori hadits muttasil atau mausul, dengan syarat antara kedua rawi yang meriwayatkan
dengan menggunakan kata ‘an (dari), itu masih sesama dan menggunakan
lkata-kata ‘an, disini tidak ada unsur tadlis (bercampurnya
gelap d an terang/ hadits yang disamarkan oleh rawi dari berbagai macam
penyamaan). Imam muslim juga berpendapat demikian.
Sedangkan menurut al-Bukhari, Ibnu Al- Madini, dan
Al-Syafi’i, tidak cukiup dengan sesamanya saja, tetapi disyaratkan antara kedua
rawi itu harus bertemu. Dan hadits mu’an’an yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tadlis
hukumnya tidak dapat diterima.[7]
b. Mu’annan
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
dengan menggunakan kalimat “ haddasana fullanun, anna fulaanan qaulan “ (telah bercerita kepadaku, bahwa si fullan telah
berkata).
Hadits mu’annan itu dalam syarat-syarat rawinya harus pernah
ketemu, mendengar, dan menjelaskannya, serta tidak adanya unsur tadlis,
adalah sama seperti hadits mu’an’an. Hadits ini menurut mayoritas ulama’ juga termasuk
kategori hadits muttasil / mausul, dengan syarat-syarat sebagaimana dalam hadits mu’an’an.[8]
D. Analisis
Sebagaimana
apa yang telah saya sampaikan dalam pembahasan makalah ini, maka dapat saya
peroleh beberapa analisis, bahwa :
Periwayatan
hadits merupakan salah satu metode bagaimana hadits itu bisa tersampaikan dari
Nabi Saw sampai pada ulama-ulama hadits, sehingga hadits dapat kita ketahui pada zaman sekarang. Dan
metode-metode tersebut mempunyai syarat bahwa perawi-perawi haruslah islam,
baligh, ‘adalah, dan dhabit, supaya hadits tersebut bisa dikataka sah.
Adapun mengenai usia periwayatan hadits supaya dapat diterima haruslah berusia
15 tahun, mengingat pada usia tersebutlah seseorang menginjak usia tamyis.
E. Kesimpulan
Dalam
penyampaian kesempatan kali ini sudah dapat kita pahami melalui isi dari
makalah, dan dapat di simpulkan bahwa dalam periwayatan hadits, dan menurut
para jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqh menetapkan syarat bagi
penerimaan hadits diantaranya: Islam, Baligh, ‘Adalah, dan Dhobit. Adapun untuk
cara periwayatannya hadits dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits mu’an’an
dan mu’annan.
F. Penutup
Demikian
lah makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Segala kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan
maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk
perbaikan makalah kami selanjutnya.
Daftar
Pustaka
Suparta, Muzier. Ilmu Hadis. 1993. Jakarta: Pt Raja Grafiondo Persada. cet- ke 4
Azami, Muhammad Musthafa. Memehami
Ilmu Hadis “ Telaah Metodologi dan Literatur Hadis ”.t.t: Lentera. 1993.
Rahman, Fatchur . Ikhtisar
Musthalakhul Hadis, Bandung: PT. Al-ma’arif, 1995.
Al-Maliki, Muhammad Alwi . Ilmu Ushul Hadis. 2006,. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
[1]
Muzier Suparta,
Ilmu Hadis, 1993, jakarta: Pt Raja Grafiondo Persada, cet- ke 4, h. 204
[3] Ibid,
h. 132
[4]
Muhammad
Musthafa Azami, Memehami Ilmu Hadis “ Telaah Metodologi dan Literatur Hadis
”, t.t: Lentera, 1993, h. 21-22
[5] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalakhul Hadis, Bandung:
PT. Al-ma’arif, 1995, h. 211-212
[6] Muhammad
Musthafa Azami, Memehami Ilmu Hadis, h.
27
[7] Muhammad Alwi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, 2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 104
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment