ADSENSE HERE!
DEMOKRASI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT
Ahmad Arifin Zain[1]
A.
Pendahuluan
Sehubungan
dengan pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, sebagai pengganti undang-undang nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu penting
dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan
sektor pendidikan, sebagaimana di tegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1
bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan. Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan
dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang
implementasinya di tingkat sekolah.
Gagasan
demokratisasi ini didasari oleh pertimbangan memperbesar partisipasi masyarakat
dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi uang sumbangan
pendidikan, tetapi juga dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai
permintaan stake holder dan user sekolah tentang kompetensi siswa yang akan
dihasilkannya.
B. Lahirnya Reformasi
dalam Pendidikan
Memasuki
abad ke-21,[2]
isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan,
tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang
pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh
beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang
tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur
pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan
dalam pembangunan sector pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis,
jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur memberikan kontribusi
terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional.
Bersamaan
dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal
jauh dibawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan
Malaysia, baik dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-rata
lamanya setiap anak bersekolah.
Lemahnya SDM
hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari
keterpurukan sector ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun
saat negara-negara ASEAN lainnya sudah pulih, Indonesia masih belum mampu
melakukan recovery dengan baik.
Dengan
demikian, gagasan-gagasan tentang reformasi pendidikan di Indonesia harus dimulai dengan perbaikan komprehensif,
baik pada wilayah makro dengan pengembangan regulasi, sistem dan kebijakan
standarisasi pendidikan, maupun dalam wilayah mikro ditingkat sekolah dengan
berbagai perbaikan dalam aspek perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat
dan sarana, serta perbaikan manajemen, yang semuanya itu dilakukan untuk
mencapai perbaikan pada hasil pendidikan.
Faktor
penting yang mendasari pentingnya reformasi pendidikan, yaitu:[3]
1. Kegagalan
pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indikator rendahnya kualitas
rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan
perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang semuanya itu merupakan
peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan kualitas SDM kompetitif.
Disamping itu ada beberapa analisis rasional mengapa reformasi
pendidikan itu mutlak dilakukan dalam menghadapi era globalisasi di abad ke
-21, dengan mengadaptasi terhadap argumen-argumen William J. Mathis dari Vermont
University, yaitu:[4]
1. Perubahan
pola pikir mayarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh
aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada
masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stake holder nya,
dan sekaligus client deri sekolah tersebut.
2. Perubahan
dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi
berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi,
tetapi juaga kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan
perubahan-perubahan tersebut.
3. Kemajuan
tekhnologi dalam semua sektor industry dan pelayanan jasa akan menggeser posisi
manusia.
4. Penurunan
standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural
resource sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya oleh cadangan alam semesta.
5. Perkembangan
ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di
Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai
negara melalui kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing.
6. Peranan
wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan
peluang yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi
pekerjaan atas dasar gender.
7. Pemahaman
doktrin keagamaan yang terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang
kemajuan, tetapi justeru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
8. Peran media
massa yang terus menguat, baik dalam men-sosialisasikan berbagai perubahan
social, mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh
berbagai hiburan alternative atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai
program televisi, yang semuanya bisa menjadi contributor pendidikan yang
positif, dan bisa menjadi kendala yang negative bagi program-program
pendidikan.
Ini semua adalah perubahan yang tidak mungkin dihindari, tetapi harus
disikapi dalam merancang reformasi pendidikan, karena sekolah akan melahirkan
keluaran yang tidak boleh gagal dalam penyesuaian diri dengan lingkungan
sosialnya, dan sebaiknya harus mampu menyesuaikan diri, bahkan mampu menjadikan
perubahan sebagai kekuasaan untuk artikulasi diri mereka, sehingga diakui oleh
publik sebagai SDM unggul yang mampu bersaing dan memiliki berbagai keunggulan
klomperatif dengan yang lainnya.
C. Munculnya Sekolah
Demokratis
Munculnya
sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam
wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak
lama, bahkan mulai sejak zaman orde baru, tampak belum spesifik.
Istilah
demokratis, sebagai mana dalam literature politik diambil dari bahasa yunani
kuno, yang terdiri dari dua kata, yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos
yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan
ditangan rakyat.
Sekolah
demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks
ini James A. Beane dan Michael W. Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat
perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah denokratis, adalah:[5]
1. Keterbukaan
saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal
mungkin.
2. Memberikan
kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka
milki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3. Penyampaian
kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap
ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4. Memperlihatkan
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan
publik.
5. Ada
kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6. Pemahaman
bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang
diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing
keseluruhan hidup manusia.
7. Terdapat
sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara
hidup demokratis.
Sejalan dengan itu, james A. Beane dan Michael W. Apple mendefinisikan,
bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah mngimplementasikan pola-pola
demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah, yang secara umum mencakup dua
aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam prosedur tersebut,
serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki
berbagai pengalaman tentang praktek-praktek demokratis. Dengan kata lain
sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang
memungkinkan praktek-prektek demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan
masyarakat, (stake holder dan user skolah) dalam membahas program-progran
sekolah/madrasah, dan prosedur pengembalian keputusan-keputusan yang juga
memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggung jawabkan
implementasinya kepada publik.
Berbagai keunggulan model sekolah ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam
kerangka penguatan model sekolah demokratis, antara lain adalah:
1. Akuntabilitas;
yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat
dipertanggung jawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan huru sesuai
dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya
terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
2. Pelaksanaan
tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada
siswa secara individual.
3. Keterlibatan
masyarakat dalam sekolah : yakni dalam sekolah demokratis, system pendidikan
merupakan refleksi dari keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi
dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan
responsif dengan berbagai persoalan sekolah.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa, masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite
sekolah atau dewan pendidikan daerah.
Menurut pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi
terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program pendidikan secara makro,
tetapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua aspeknya.
Undang-undang sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan
peserta didik menjadi warga negara yang demokratis. Mereka harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman bahwa masyarakat ikut terlibat dalam penyelenggaraan
sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor pemikiran, konsep dan gagasan
maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya. Masyarakat juga terlibat
dalam pembahasan program-program sekolah, dan masyarakat juga terlibat dalam
evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk siswa dan
siswinya.
D. Manajemen
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kehidupan
global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka
peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia
yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik didalam maupun
di luar negeri. Disinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu
pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik
maupun global.[6]
1. Paradigma
Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan untuk menghadapi
era global sebagaimana dikemukakan oleh Tilaar, bahwa pokok-pokok yang harus
ada pada paradigma baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan
ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis.
b. Untuk
mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis.
c. Pendidikan
diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan
internal sekaligus tantangan global.
d. Pendidikan
harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta
demokratis.
e. Pendidikan
harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat
Indonesia yang bersatu diatas kekayaan kebinekaan masyarakat.
f. Pendidikan
harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia
merasa bangga menjadi insan Indonesia.
2. Aktualisasi
Pendidikan
Untuk mewujudkan ketujuh butir sebagaimana
telah dikemukakan diatas, diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru.
Aktualisasi pendidikan nasional yang baru, mengisyaratkan bahwa tanggung jawab
juga dibebankan kepada masyarakat. Maksudnya masyarakat dan pemerintah
sama-sama bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan
sumbangan untuk membangun gedung sekolah dan uang sekolah, tetapi yang lebih
penting masyarakat diharapkan turut serta menentukan jenis pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk turut bertanggung jawab dalam
meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar
dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik.
3. Sosialisasi:
Kendala Klasik
Salah satu
kendala yang amat menentukan dalam menyampaikan informasi baru bagi masyarakat
adalah masalah sosialisasi. Oleh karena itu harus dipersiapkan sedemikian rupa
cara/kiat menyampaikan dan menginformasikan hal baru kepada masyarakat sehingga
seluruh lapisan masyarakat dapat dijangkau.
Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dalam pengimplementasian suatu
kebijakan dari pemerintah amat dituntut. Apalagi jika kebijakan ditujukan bagi
mayoritas masyarakat Indonesia yang memang tingkat ekonominya lemah. Seluruh
stakeholder bahkan target group harus ditumbuhkan rasa dihargai, sehingga
mereka akan mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah.
E. Realitas di
Lapangan : Semua Serba Masyarakat
Dibawah ini
akan dipaparkan kenyataan-kenyataan di lapangan berkaitan dengan manajemen
pendidikan berbasis masyarakat. Berkaitan dengan situasi Indonesia saat ini, yang
sekaligus merupakan permasalahan dibidang pendidikan, sudah seharusnya yang
sedang berlangsung saat ini tidak seperti yang terjadi selama ini dimana
pelaksanaan pendidikan banyak di warnai dengan pendekatan sarwa negara.
Tujuan
pendidikan yang memberi peluang secara luas peran masyarakat dalam bidang
pendidikan ini sekaligus menunjukan bahwa negara bukan satu-satunya
penyelenggara pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat harus jauh melihat
kedepan dengan memerhatikan proses dan sistem pendidikan di negara kita sudah
seharusnya melakukan perubahan. Karena kita tidak dapat mempertahankan sistem
lama yang selama ini diterapkan yakni sistem yang paradigmanya telah
ketinggalan jauh dari tuntutan dan perkembangan zaman.
Di Indonesia,
pendidikan berbasis masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Bentuk
pendidikan berbasis masyarakat yang masih ada dan tetap eksis, bahkan menjadi
model pendidikan yang cukup menjadi trend adalah madrasah dan pesantren.
Kemudian berkembang pula diklat, kursus yang diselenggarakan oleh swasta
seperti kursus dakwah, bahasa, pertukangan dan lain sebagainya yang bersifat
praktis.
Adapun
kursus pada lembaga formal, antara lain pendidikan Teknologi Tepat Guna (LPTP),
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan
Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) yang berada dibawah direktorat
jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP). Artinya, lembaga kursus
tersebut dinaungi secara formal oleh lembaga pemerintah. Tampaknya memang
ironis karena saat ini lembaga pendidikan yang bersifat praktis sudah menjamur,
tetapi disisi lain keberadaannya tidak diimbangi dengan jumlah lapangan
pekerjaan yang ada. Tidak dipungkiri bahwa kondisi seperti ini banyak
dipengaruhi kondisi global, atau lebih khusus lagi kondisi perekonomian
Indonesia yang sedang terpuruk.
Perekonomian
boleh terpuruk, namun tuntutan zaman yang menghendaki pemberdayaan masyarakat
di segala bidang menyebabkan lembaga sejenis kursus-kursus sebagai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat tersebut tetap diminati dan bertahan. Dalam
kenyataanya pendidikan berbasis masyarakat yang benar-benar menyiapkan manusia
terdidik secara utuh, baik yang bersifat intelektual, sikap moral, dan agama
sebagai dasar hanyalah pesantren atau sekolah yang berbasis madrasah. Padahal
sebagaimana model pendidikan berbasis masyarakat yang dicontohkan pesantren,
lembaga-lembaga tersebut mengikuti pola sebagaimana pesantren yang memiliki
kurikulum sendiri, mengusahakan pendanaan sendiri, dan melayani kebutuhan
masyarakatnya. Barangkali yang membuat banyak berbeda dengan pesantren, lembaga
kursus lebih berorientasi pada bisnis (profit oriented) tanpa mengindahkan segi
lain yang justru amat dibutuhkan dimasa seperti sekarang ini dimana
sikap/moral/agama telah mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai
dampak dari globalisasi.
F. Penutup
Pendidikan
berbasis masyarakat berusaha untuk mengurangi kewenangan pembuatan kebijakan
oleh pemerintah yang berdimensi kewilayahan atau ketingkat elementer, karena
yang paling mengerti akan kebutuhan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Sistem
pendidikan nasional selalu menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global sehingga peru dilakukan perubahan terarah dan berkesinambungan agar dapat meningkatkan
kinerjanya dalam pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan
efisiensi manajemen pendidikan. Bertolak dari sistem pendidikan tersebut, maka
bangsa Indonesia perlu mewujudkan visi pendidikan nasional sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyada, Dede. (2007). Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan
Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidika.
Jakarta: Kencana.
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. (Sam M. Chan dan
Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, :,
2005). Analisis SWOT: Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Penulis tercatat sebagai Mahasiswa STAIN Purwokerto
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Semester 3.
[2] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi:
Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan,
(Jakarta: Kencana, 2007), hal: 1.
[6] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT:
Kerbijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), hal. 114.
ADSENSE HERE!
No comments:
Post a Comment